siap berbagi dan menerima

siap berbagi dan menerima

Selasa, 07 Februari 2012

STUDI KASUS


1. Pengertian Studi Kasus
Menurut Bogdan dan Bikien (1982) studi kasus merupakan pengujian secara rinci terhadap satu latar atau satu orang subjek atau satu tempat penyimpanan dokumen atau satu peristiwa tertentu . Surachrnad (1982) membatasi pendekatan studi kasus sebagai suatu pendekatan dengan memusatkan perhatian pada suatu kasus secara intensif dan rinci. SementaraYin (1987) memberikan batasan yang lebih bersifat teknis dengan penekanan pada ciri-cirinya. Ary, Jacobs, dan Razavieh (1985) menjelasan bahwa dalam studi kasus hendaknya peneliti berusaha menguji unit atau individu secara mendalarn. Para peneliti berusaha menernukan sernua variabel yang penting.
Berdasarkan batasan tersebut dapat dipahami bahwa batasan studi kasus meliputi: (1) sasaran penelitiannya dapat berupa manusia, peristiwa, latar, dan dokumen; (2) sasaran-sasaran tersebut ditelaah secara mendalam sebagai suatu totalitas sesuai dengan latar atau konteksnya masing-masing dengan maksud untuk mernahami berbagai kaitan yang ada di antara variabel-variabelnya.
2. Jenis-jenis Studi Kasus
a. Studi kasus kesejarahan mengenai organisasi, dipusatkan pada perhatian organisasi
tertentu dan dalam kurun waktu tertentu, dengan rnenelusuni perkembangan organisasinya. Studi mi sening kunang memungkinkan untuk diselenggarakan, karena sumbernya kunang mencukupi untuk dikerjakan secara minimal.
b. Studi kasus observasi, mengutamakan teknik pengumpulan datanya melalul observasi peran-senta atau pelibatan (participant observation), sedangkan fokus studinya pada suatu organisasi tertentu.. Bagian-bagian organisasi yang menjadi fokus studinya antara lain: (a) suatu tempat tertentu di dalam sekolah; (b) satu kelompok siswa; (c) kegiatan sekolah.
c. Studi kasus sejarah hidup, yang mencoba mewawancarai satu onang dengan maksud mengumpulkan narasi orang pertama dengan kepemilikan sejarah yang khas. Wawancara sejarah hiclup biasanya mengungkap konsep karier, pengabdian hidup seseorang, dan lahir hingga sekarang. masa remaja, sekolah. topik persahabatan dan topik tertentu lainnya.
d. Studi kasus kemasyarakatan, merupakan studi tentang kasus kemasyarakatan (community study) yang dipusatkan pada suatu lingkungan tetangga atau masyarakat sekitar (kornunitas), bukannya pada satu organisasi tertentu bagaimana studi kasus organisasi dan studi kasus observasi.
e. Studi kasus analisis situasi, jenis studi kasus ini mencoba menganalisis situasi terhadap peristiwa atau kejadian tertentu. Misalnya terjadinya pengeluaran siswa pada sekolah tertentu, maka haruslah dipelajari dari sudut pandang semua pihak yang terkait, mulai dari siswa itu sendiri, teman-temannya, orang tuanya, kepala sekolah, guru dan mungkin tokoh kunci lainnya.
f. Mikroethnografi, merupakan jenis studi kasus yang dilakukan pada unit organisasi yang sangat kecil, seperti suatu bagian sebuah ruang kelas atau suatu kegiatan organisasi yang sangat spesifik pada anak-anak yang sedang belajar menggambar.

3. Langkah-Langkah Penelitian Studi Kasus
a. Pemilihan kasus: dalam pemilihan kasus hendaknya dilakukan secara bertujuan
(purposive) dan bukan secara rambang. Kasus dapat dipilih oleh peneliti dengan
menjadikan objek orang, lingkungan, program, proses, dan masvarakat atau unit
sosial. Ukuran dan kompleksitas objek studi kasus haruslah masuk akal, sehingga
dapat diselesaikan dengan batas waktu dan sumbersumber yang tersedia;
b. Pengumpulan data: terdapat beberapa teknik dalarn pengumpulan data, tetapi yang
lebih dipakai dalarn penelitian kasus adalah observasi, wawancara, dan analisis dokumentasi. Peneliti sebagai instrumen penelitian, dapat menyesuaikan cara pengumpulan data dengan masalah dan lingkungan penelitian, serta dapat mengumpulkan data yang berbeda secara serentak;
c. Analisis data: setelah data terkumpul peneliti dapat mulai mengagregasi, mengorganisasi, dan mengklasifikasi data menjadi unit-unit yang dapat dikelola. Agregasi merupakan proses mengabstraksi hal-hal khusus menjadi hal-hal umum guna menemukan pola umum data. Data dapat diorganisasi secara kronologis, kategori atau dimasukkan ke dalam tipologi. Analisis data dilakukan sejak peneliti di lapangan, sewaktu pengumpulan data dan setelah semua data terkumpul atau setelah selesai dan lapangan;
d. Perbaikan (refinement): meskipun semua data telah terkumpul, dalam pendekatan studi kasus hendaknya clilakukan penvempurnaan atau penguatan (reinforcement) data baru terhadap kategori yang telah ditemukan. Pengumpulan data baru mengharuskan peneliti untuk kembali ke lapangan dan barangkali harus membuat kategori baru, data baru tidak bisa dikelompokkan ke dalam kategori yang sudah ada;
e. Penulisan laporan: laporan hendaknya ditulis secara komunikatif, rnudah dibaca, dan mendeskripsikan suatu gejala atau kesatuan sosial secara jelas, sehingga rnernudahkan pembaca untuk mernahami seluruh informasi penting. Laporan diharapkan dapat membawa pembaca ke dalam situasi kasus kehiclupan seseorang atau kelompik.
4. Ciri-ciri Studi Kasus yang Baik
a. Menyangkut sesuatu yang luar biasa, yang berkaitan dengan kepentingan umum
atau bahkan dengan kepentingan nasional.
b. Batas-batasnya dapat ditentukan dengan jelas, kelengkapan ini juga ditunjukkan
oleh kedalaman dan keluasan data yang digali peneliti, dan kasusnya mampu
diselesaikan oleh penelitinya dengan balk dan tepat meskipun dihadang oleh
berbagai keterbatasan.
c. Mampu mengantisipasi berbagai alternatif jawaban dan sudut pandang yang
berbeda-beda.
d. Keempat, studi kasus mampu menunjukkan bukti-bukti yang paling penting saja,
baik yang mendukung pandangan peneliti maupun yang tidak mendasarkan pninsip
selektifitas.
e. Hasilnya ditulis dengan gaya yang menarik sehingga mampu terkomunikasi
pada pembaca.
Perhatian
Orientasi teoritik dan pemilihan pokok studi kasus dalam penelitian kualitatif bukanlah perkara yang mudah, tetapi tanpa memperdulikan kedua hal tersebut akan cukup menyulitkan bagi peneliti yang akan turun ke lapangan. Dengan memahami orientasi teoritik dan jenis studi yang akan dipilih maka setidak-tidaknya seorang peneliti telah akan mempersiapkan diri sebelum benan-benar terjun dalam kancah penelitian. Di dalam penyusunan desain penelitian kedua hal tersebut hendaknya sudah dapat ditentukan, meskipun masih bersifat sementana.
Untuk dapat mengatasi kesulitan dalam menentukan orientasi teoritik pemilihan pokok studi, terutarna dalam studi kasus, Guba dan Lincoln (1987) memberikan saran-saran sebagai berikut: Pertama, bagi peneliti pemula hendaknya banyak membaca sebanyak mungkin laporan-laporan kasus yang ada sehingga mereka dapat mempelajari bagaimana para peneliti menyusunnya. Kedua, mereka hendaknya bergabung dengan para penulis kasus yang baik untuk memahami bagaimana mereka bekerja. Ketiga, mereka harus berlatih menulis laporan kasus, dan terakhir, mereka harus meminta kritik-kritik yang positif dan para ahli.
DAFTAR PUSTAKA
Syamsuddin, Prof., Dr. dan Vismaia, Dr. 2006. Metode Penelitian Pendidikan Bahasa. Bandung : Remaja Rosdakarya.
Syaodih, Nana Sukmadinata, Prof.,Dr. 2006. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung :Remaja Rosdakarya
Wiriaatmadja,Rochiati. 2007. Metode penelitian Tindakan Kelas. Bandung: Remaja Rosdakarya
Furchan, Arief, MA.,Ph.D. (Penejemah). 2004. Pengantar penelitian Dalam Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka pelajar

Pendahuluan

Salah satu warisan kebudayaan bangsa Indonesia berupa sastra Indonesia. Sebagai ahli waris, siswa harus mengenal, memahami, dan menghargai sastra miliknya. Namun, harapan akan tinggal harapan andaikata saja pihak sekolah tidak atau kurang berupaya sedemikian rupa untuk secara sadar dan sengaja memperkenalkan dan mendekatkan siswa pada karya-karya sastra.
Kesadaran itulah tampaknya yang mendorong agar sastra Indonesia mendapat tempat untuk dipelajari siswa di sekolah, meskipun pada kenyataannya sastra belumlah merupakan satu bidang studi yang berdiri sendiri. Pembelajaran sastra notabena merupakan bagian saja dari pembelajaran Bahasa Indonesia.
Dimasukkannya pembelajaran sastra ke dalam pembelajaran Bahasa Indonesia kiranya dapat dimaklumi, karena secara umum -- dalam salah satu definisinya -- sastra adalah segala sesuatu yang ditulis (Wellek & Warren, 1956: 20), kendatipun pengertian semacam itu dianggap terlalu luas dan juga terlalu sempit (Barnet-Berman-Burto, 1967: 7). Dianggap terlalu luas karena, dengan demikian, semua buku termasuk sastra. Dianggap terlalu sempit dengan keberatan bahwa macam balada yang dinyanyikan dan cerita yang dibacakan, dengan demikian, tidak termasuk dalam sastra.
Secara lebih khusus Robert Frost menyatakan bahwa sastra adalah suatu pengungkapan dalam kata (a performance in words) (Barnet-Berman-Burto, 1967: 1). Karya sastra bukan hanya bahasa yang dipakai untuk merealisasikannya, tetapi harus dianggap sebagai pernyataan yang sangat kompleks dan luas tentang dunia penulis dan pembacanya (Moody, 1972: 3). Sastra merupakan karangan rekaan, hasil cipta seseorang sebagai ungkapan penghayatannya ke dalam wujud bahasa (Rusyana, 1982: 4). Sebagai suatu karya seni yang menggunakan bahasa sebagai medianya, sastra sangat mengutamakan dan setia terhadap hidup, terhadap manusia, dan terhadap bahasa (Ahmadi, 1980: 10).
Pembelajaran sastra penting bagi siswa karena berhubungan erat dengan keharuan. Sastra dapat menimbulkan rasa haru, keindahan, moral, keagamaan, khidmat terhadap Tuhan, dan cinta terhadap sastra bangsanya (Broto, 1982: 67). Di samping memberikan kenikmatan dan keindahan, karya sastra juga memberikan keagungan kepada siswa pada khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya. Sastra Indonesia secara umum dapat dipakai sebagai cermin, penafsiran, pernyataan, atau kritik kehidupan bangsa.
Fungsi sastra kiranya tidak perlu diragukan lagi. Norman Podhoretz ketika diwawancarai Arwah Setiawan mengemukakan bahwa sastra dapat memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap cara berpikir orang mengenai hidup, baik dan buruk, benar dan salah, dan cara hidupnya sendiri dan bangsanya (Soeharianto, 1976: 25). Pendek kata, sastra memberikan berbagai kepuasan yang sangat tinggi nilainya, yang tidak dapat diperoleh dengan cara lain (Moody, 1972: 2). Sastra memberikan pengaruh yang menguntungkan kepada penikmatnya (Barnet-Berman-Burto, 1967: 8).
Yang menjadi masalah sekarang adalah bagaimana proses pembelajaran sastra itu berlangsung supaya hasil yang diharapkan dapat mewujud. Proses pembelajaran sastra melibatkan guru sastra, pihak yang mengajarkan sastra, dan siswa, subjek yang belajar sastra. Masalah di atas dapat disederhanakan menjadi bagaimana upaya yang seyogianya ditempuh yang memungkinkan siswa dapat belajar sastra dengan seefektif mungkin.
Tulisan sederhana ini akan menawarkan suatu metode -- sebagai suatu alternatif -- yang tampaknya cukup efektif digunakan oleh guru dalam pembelajaran sastra. Hanya saja, perlu diingat, jika kita berbicara masalah metode kita tidak dapat lepas dari masalah pendekatan atau ancangan (approach) yang menurunkan metode (method). Untuk selanjutnya, suatu metode ternyata akan menyarankan penggunaan teknik-teknik tertentu pula. Dengan demikian, secara hirarkis akan dikemukakan adanya tiga tataran, yaitu: pendekatan (approach), metode (method), dan teknik (technique).

Pendekatan, Metode, Teknik

Dalam rangka metode sebenarnya terkandung beberapa istilah, yaitu pendekatan, metode, dan teknik (Broto, 1982: 19). Kenyataan menunjukkan bahwa para guru bahasa pada umumnya dan guru sastra pada khususnya masih menggunakan ketiga-tiganya secara kacau.
Pendekatan, metode, dan teknik mempunyai hubungan hirarki (Anthony, 1963). Hubungan itu menyatakan bahwa teknik merupakan hasil dari (pelaksanaan) suatu metode yang selalu konsisten dengan pendekatan. Pendekatan bersifat aksiomatik, metode bersifat teoretis prosedural, dan teknik bersifat teknis pelaksanaan. Dalam hubungan ini, pengenalan terhadap ketiga tataran itu sedapat mungkin akan langsung dikaitkan dengan pembelajaran sastra.

a) Pendekatan Apresiatif

Pendekatan merupakan latar belakang filosofis tentang pokok-pokok yang hendak diajarkan (Broto, 1982: 9-10). Pendekatan berupa seperangkat asumsi yang berhubungan dengan hakekat bahasa dan belajar-mengajar bahasa (Anthony, 1963; Baradia, 1985), merupakan komitmen terhadap pandangan tertentu (Strevens, 1983: 23).
Pada bagian muka sudah disinggung beberapa pengertian tentang sastra, yang secara umum dapat dikatakan bahwa sastra tidak lain dari hasil kegiatan kreatif manusia dalam mengungkapkan penghayatannya dengan menggunakan bahasa (Rusyana, 1982: 5). Sastrawan memadukan daya pikir, daya rasa, dan daya imajinasinya -- penghayatan -- untuk menciptakan sesuatu yang baru. Kegiatan tersebut merupakan kegiatan kreatif, yang hasil penghayatan itu selanjutnya dijelmakan dengan media bahasa.
Sastra dalam keutuhan bentuknya menyentuh perilaku kehidupan kaum terdidik yang tentunya dapat mewarnai liku-liku hidup yang bersangkutan (Moody, 1972). Paling tidak ada empat manfaat yang dapat diambil dari belajar sastra, yaitu menunjang keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan rasa karsa, dan membentuk watak (Gani, 1980: 2). Pembelaran sastra mempunyai peranan besar dalam mencapai berbagai aspek dari tujuan pendidikan dan pengajaran, seperti aspek pendidikan susila, sosial, perasaan, sikap penilaian, dan keagamaan (Rusyana, 1982: 6).
Kenyataan itu tampak menyarankan bahwa proses pembelajaran sastra di sekolah seyogianya disajikan dalam bentuk apresiasi, dalam pengertian lebih mengutamakan atau mendahulukan kegiatan apresiasinya daripada pengetahuan sastranya. Tujuan (utama) pembelajaran sastra adalah mengapresiasi nilai-nilai yang terkandung dalam sastra (Rusyana, 1984: 314), yaitu pengenalan dan pemahaman yang tepat terhadap nilai sastra dan kegairahan kepadanya, serta kenikmatan yang timbul sebagai akibat dari semua itu. Untuk mendapatkan kenikmatan yang mendalam, sudah barang tentu juga perlu pemahaman terhadap sastra. Pengetahuan sastra meliputi teori, sejarah, esai, dan kritik sastra.
Dalam karya sastra terkandung pengalaman manusia yang indah mendalam. Pengenalan yang semakin mendalam dan hasrat serta jawaban kita terhadap pengalaman hidup yang terkandung dalam sastra itulah yang dapat disebut sebagai apresiasi sastra (Rusyana, 1982: 7).
Apresiasi berisikan kegiatan atau usaha merasakan dan menikmati hasil-hasil karya seni (Soeharianto, 1981: 15) termasuk di dalamnya karya sastra, mengandung arti mempersepsi dan mengenal dengan cukup luas suatu karya sastra (Ahmadi, 1980: 12), dimaksudkan mengerti, memahami, dan mengenal secara intuitif tentang kebenaran dan kualitas estetik karya sastra. Selama hubungan dengan karya sastra belum atau kurang menggambarkan kegiatan itu, belumlah dapat dikatakan bahwa kita sudah mengapresiasi karya sastra. Dengan tegas dikatakan bahwa apresiasi sastra merupakan kegiatan menggauli cipta sastra dengan sungguh-sungguh hingga tumbuh pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap cipta sastra (Effendi, 1974: 18).
Mengadakan pendekatan terhadap sastra, sekali lagi, berarti mengapresiasi nilai-nilai yang terkandung dalam sastra. Apresiasi berisikan upaya merasakan dan menikmati karya sastra. Pendekatan apresiatif bertolak dari sastra sebagai hasil kegiatan kreatif manusia dalam mengungkapkan penghayatannya dengan menggunakan bahasa, yang kemudian didukung titik berat pembelajaran sastra yang diletakkan pada terbinanya kemampuan siswa mengapresiasi sastra.

b. Metode Imersi

          Ada sedikit kekacauan dalam istilah yang digunakan untuk menunjukkan perbedaan antara metode dan pendekatan. Dalam banyak hal, metode digunakan dengan makna yang sama dengan istilah pendekatan (Strevens, 1983: 23). Sebagai ilustrasi, penamaan seperti audio-lingual method, direct method semestinya dipakai untuk menunjukkan pendekatan.
Metode merupakan cara yang dalam fungsinya adalah alat untuk mencapai tujuan (Surakhmad, 1980: 75). Makin baik metode akan makin efektif pula pencapaian tujuannya. Metode tidak lain dari rencana keseluruhan dalam menyajikan materi bahasa secara teratur (Anthony, 1963; Baradja, 1985). Sangatlah mungkin dalam suatu pendekatan akan terdapat beberapa metode.
Pembelajaran sastra dilaksanakan dengan pengutamaan pada kegiatan apresiasi sastra. Hal itu menyarankan agar siswa diperkenalkan atau dipertemukan dengan karya sastra secara langsung dan sebanyak-banyaknya. Karya-karya sastra itu tentu sudah dipilih oleh guru dengan berbagai pertimbangan, di antaranya pertimbangan faktor usia, bahasa, kematangan jiwa, dan prioritas.
Guru sastra bertugas memberi siswa kesempatan untuk mengembangkan sendiri kemampuan apresiasinya, bersifat membantu menyajikan lingkungan dan suasana yang kondusif, misalnya menyediakan bahan bacaan sastra dan mendorong siswa senang membaca. Siswa hendaknya didorong agar berkenalan dengan karya sastra, mengadakan kontak dan dialog langsung dengan karya dengan cara membaca dan menikmatinya. Untuk seterusnya dapat saja – bahkan sangat positif — diadakan ruang pembahasan atau diskusi, misalnya tentang pengalaman-pengalaman yang terkandung di dalamnya, tokoh-tokoh cerita, diksi, dan seterusnya.
Kegiatan menggauli karya sastra dilakukan secara langsung, dimaksudkan bahwa siswa itu sendiri harus secara langsung membaca bermacam sajak, cerita, atau drama dari berbagai sastrawan dan zaman, atau secara langsung mendengarkan sajak dideklamasikan atau dibacakan (poetry reading) dan menyaksikan drama yang dipentaskan. Agar siswa memperoIeh pengertian yang sebaik-baiknya tentang wujud dan fungsi karya sastra dan dapat menghargainya secara wajar, kegiatan tersebut – membaca, mendengarkan, menyaksikan — harus dilakukan secara sungguh-sungguh dan sebanyak-banyaknya.
Kiranya perlu diingatkan di sini bahwasanya kegiatan apresiasi sastra belum berhenti hanya sampai di situ saja. Demi sempurnanya kegiatan apresiasi memang masih perlu diikuti dengan pemberian pengetahuan tentang sastra. Yang terakhir ini dapat disebut kegiatan tak langsung, artinya siswa tidak langsung menjamah karya sastranya.
Cara langsung merupakan cara yang paling diutamakan, yang akan ditingkatkan oleh hadirnya cara yang tak langsung tersebut. Sesudah siswa bergaul, berdialog langsung dan mendalam dengan karya -- mengenal, memahami, menganalisis, menghayati -- mereka diperkuat dengan pengetahuan tentang sastra. Kecuali itu, dua kegiatan lagi sebagai pelengkap -- jika masih dimungkinkan -- yaitu kegiatan dokumentasi dan kegiatan kreatif (Effendi, 1974: 19). Kegiatan dokumentasi berupa kegiatan mengumpulkan dan menyusun buku-buku dan majalah-majalah sastra, membuat kliping, dan sebagainya, sementara itu, kegiatan kreatif berupa kegiatan belajar atau berlatih mencipta sendiri sajak, cerpen, atau drama kecil.
Metode Imersi (Immersion Method) yang ditawarkan di sini berangkat dari pandangan bahwa dalam pelaksanaan kegiatan apresiasi sastra (baca: pembelajaran sastra) siswa layaknya dibenamkan ke dalam sesuatu atau dibenami sesuatu. Siswa dibenamkan ke dalam sebuah dunia yang sarat dengan aneka ragam karya sastra (plus pengetahuan sastra). Dapat juga dikatakan bahwa siswa dibenami dengan beronggok-onggok karya sastra (plus pengetahuan sastra).

c) Teknik Induksi

Suatu teknik harus konsisten dengan metode dan sesuai pula dengan pendekatannya. Teknik berkaitan dengan strategi yang benar-benar terjadi di ruang kelas (Anthony, 1963; Baradja, 1985).
Suatu strategi yang efektif dan efisien akan tercipta bila strategi itu dapat dengan mudah diterapkan dan dapat menunjang prestasi belajar siswa yang memadai dan langgeng (Natawidjaja, 1983: 2). Keberartian sesuatu yang dipelajari siswa untuk dirinya sendiri itulah yang menentukan kadar kelanggengan prestasi belajar siswa. Dalam hal ini peran serta aktif dari pihak siswa sendiri dalam kegiatan pembelajaran ikut berpengaruh terhadap keberartian bahan pembelajaran.
Jenis teknik belajar-mengajar dapat ditimbulkan dari metode tertentu (Broto, 1982: 23). Teknik merupakan pelaksanaan dari proses pembelajaran. Teknik biasanya ditandai dengan penggunakan alat bantu atau media tertentu yang diperlukan.
Pembelajaran sastra yang berangkat dari pendekatan apresiatif (appreciative approach) dan memilih metode imersi sebagai suatu alternatif, akhirnya menggiring kita untuk menentukan dan mengangkat satu teknik yang dirasa paling sesuai. Teknik induksi tampaknya sangat sesuai dan mendukung kegiatan ini.
Teknik induksi tidak hanya menuntut peran serta aktif siswa, tetapi lebih jauh daripada itu, mendorong dan memberi kesempatan yang seluas-luasnya dan sebanyak-banyaknya kepada siswa untuk mendekati sendiri karya sastra, menggauli secara langsung, dan akhirnya diharapkan mampu menikmati, menghayati, dan menghargai karya sastra itu sendiri. Guru hanya bersifat merangsang, memancing, mendorong, dan mengarahkan kegiatan itu. Yang terjadi selama ini, tampaknya para guru sastra di lapangan cukup dengan membuat siswanya paham dan mengerti karya sastra melalui penjelasan atau informasi, tanpa ada kontak langsung siswa-karya. Siswa dijejali sekian banyak teori dan sejarah sastra. Dengan demikian, siswa banyak tahu dan paham (baca: hafal) pengetahuan sastra, tetapi tidak atau kurang mampu mengapresiasi karya. Tujuan utama pembelajaran sastra masih jauh dari terpenuhi. Kegiatan macam itu jelas kegiatan yang sangat tidak apresiatif.
Teknik induksi menghendaki lain. Siswa diberi kesempatan secara langsung bergaul intim dan berdialog dengan karya. Segala sesuatu yang diharapkan dapat dicapai oleh siswa dalam pergaulan dan dialog biarlah ditemukan sendiri oleh siswa. Tentu saja, hal itu tidak terlepas sama sekali dari bimbingan guru. Yang penting guru tidak bersikap menggurui dan menyuapkan sesuatu yang tinggal telan saja. Tidaklah mungkin seseorang dapat merasakan kenikmatan sesuatu hanya dengan diberitahu orang lain tanpa melakukan kontak langsung secara intim dan berdialog akrab dengan sesuatu itu sendiri.
Penamaan induksi untuk teknik ini sesungguhnya meminjam istilah dari bidang logika. Seperti diketahui, terdapat dua cara penarikan kesimpulan, yaitu logika induktif dan logika deduktif (Suriasumantri, 1984: 46). Logika induktif – yang dipakai di sini — erat hubungannya dengan penarikan kesimpulan dari kasus-kasus individual nyata menjadi kesimpulan yang bersifat umum. Sebagai suatu proses tertentu, induksi berupaya menyimpulkan pengetahuan yang ’umum’ atau universal dari pengetahuan yang ’khusus’ atau partikular (Ofm, 1983: 40). Induksi merupakan cara berpikir dengan jalan menarik suatu kesimpulan yang bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat individual.
Implikasinya dalam pembelajaran sastra, seperti sudah dikemukakan terdahulu, guru bertindak membimbing dan mengarahkan siswanya agar berhasil menemukan sendiri hal-hal khusus, ciri-ciri khusus, dan seterusnya, untuk kemudian dibimbing ke arah penarikan kesimpulan yang bersifat umum tentang karya sastra itu.
Sebagai ilustrasi, mengajarkan pantun, misalnya, teknik yang cenderung selalu digunakan para guru sebagai berikut. Pertama, guru memberikan pengertian, batasan, atau definisi pantun. Berikutnya diberikanlah ciri-ciri pantun atau mengapa bentuk itu disebut pantun. Akhirnya, disajikan contoh-contoh pantun. Langkah tersebut masih ditambah lagi dengan model penyajian dikte oleh guru. Langkah tersebut sangat tidak apresiatif, sehingga hasilnya pun berupa pengetahuan hafalan belaka.
Dengan teknik induksi yang merupakan pembalikan langkah-langkah tersebut di atas, siswa diberi kesempatan langsung berhadapan, berdialog, dan menikmati karya puisi lama itu. Dengan bimbingan guru siswa diajak mampu menemukan Ietak-letak keindahannya, ciri-ciri bentuknya, yang akhirnya sampai pada penyimpulan bahwa karya puisi itu adalah pantun.
Yang juga perlu diingat bahwa pembicaraan atau pembahasan tidak boleh hanya terbatas pada unsur bentuknya saja. Yang lebih penting justru pembahasan terhadap unsur isinya. Pembicaraan dapat saja berkisar pada pokok masalah yang diungkapkan, pendapat pengarang atau penyair tentang pokok masalah tersebut, perasaan, nada bicara, amanat yang terkandung, peristiwa yang dibayangkan terjadi di belakang karya, dan seterusnya.
Dalam pelaksanaannya dapat saja teknik induksi diramu dengan teknik-teknik yang lain, umpamanya brainstorming, diskusi, dan lain-lain yang relevan. Yang tetap harus diingat, guru tidak boleh lupa pada prinsip-prinsip CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif). Melaksanakan CBSA berarti guru melaksanakan suatu strategi pembelajaran yang menekankan keaktifan siswa secara fisik, mental, intelektual, dan emosional guna memperoleh hasil belajar yang berupa perpaduan antara matra kognitif, afektif, dan psikomotorik (Natawidjaja, 1983: 19).

Penutup

Sudah barang tentu pembelajaran sastra dapat dilaksanakan dengan berorientasi pada pendekatan lain yang berbeda, kemudian juga melahirkan metode-metode lain lagi, dan tentunya diaplikasikan dengan teknik-teknik yang berbeda pula. Dari pendekatan apresiatif ini pun sangat dimungkinkan lahirnya metode lain di samping imersi. Dari metode imersi, demikian pula, sangat dimungkinkan terpakainya teknik-teknik lain yang mirip, sejalan, atau bahkan bertentangan dengan teknik-teknik induksi yang ditawarkan di sini.
Sekali lagi ditekankan di sini, pendekatan—metode—teknik  yang dimunculkan dalam tulisan ini – barangkali juga bukanlah barang baru lagi — tidak lebih dari salah satu alternatif dari sekian banyak alternatif yang seharusnya memang ada.

Daftar Pustaka

Ahmadi, Mukhsin. 1980. "Peranan Sastrawan dalam Apresiasi Sastra" dalam Bahasa dan Sastra Th. VI, Nomor 6. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud.
Anthony, Edward M. 1972. "Approach, Method, and Technique" dalam Allen & Campbell, ed., Teaching English as a Second Language: A Book of Readings. New York: McGraw-Hill.
Baradja, M.F. 1985. A Way to Analyze Method. Semarang: Akademi Bahasa 17 Agustus 1945 Semarang.
Barnet—Berman—Burto. 1967. An Introduction to Literature: Fiction—Poetry—Drama. Boston: Little, Brown and Company, Boston.
Broto, A.S. 1982. Metode Proses Belajar-Mengajar Berbahasa Dewasa Ini. Solo: Tiga Serangkai.
------------------   1982. Metodologi Proses Belajar-Mengajar Berbahasa. Solo: Tiga Serangkai.
Effendi, S. 1974. Bimbingan Apresiasi Puisi. Ende Flores: Nusa Indah.
Gani, Rizanur. 1980. "Pengajaran Apresiasi Puisi" dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra Th. VI, Nomor 3. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud.
Moody, H.L.B. 1971. The Teaching of Literature. London: Longman Group Ltd.
Natawidjaja, Rochman. 1983. CBSA Cara Belajar Siswa Aktif. Jakarta: Ditjendikdasmen—Ditdikgutentis Depdikbud.
Ofm, Alex Lanur. 1983. Logika Selayang Pandang. Yogyakarta: Kanisius.
Rusyana, Yus. 1982. Metode Pengajaran Sastra. Bandung: Gunung Larang.
---------------- 1984. Bahasa dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan. Bandung: Diponegoro.
Soeharianto, S. 1976. "Peranan Puisi dalam Kehidupan Kita" dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra Th. I, Nomor 6. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud.
---------------- 1981. Pengantar Apreslasi Puisi. Surakarta: Widyaduta.
Strevens, Peter. 1983. New Orientations in the Teaching of English. Oxford University Press.
Surakhmad, Winarno. 1980. Metodologi Pengajaran Nasional. Bandung: Jemmars.
Suriasumantri, Jujun S. 1984. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Sinar Harapan.
Welleck, Rene & Austin Warren. 1956. Theory of Literature. New York: A Harvest Book Harcourt, Brace & World, Inc



Tidak ada komentar:

Posting Komentar