Pelaksanaan Kurikulum Pendidikan di Indonesia
Dalam Tinjauan Historis dan Ideologis
I.
Pendahuluan
Perjalanan sejarah bangsa telah mencatat bahwa
perubahan pergantian kurikulum pendidikan yang semestinya mengantarkan bangsa
dan rakyat Indonesia
untuk eksis dalam percaturan global ternyata justru terbalik dengan kenyataan
yang ada. Negeri ini malah kian terpuruk dan tertinggal dengan bangsa-bangsa
lain.
Oleh karena itu, dengan membuka lembaran sejarah
kurikulum di Indonesia, diharapkan pemerintah dan segenap komponen bangsa yang
terkait langsung menangani pendidikan di Indonesia untuk mencari formulasi yang
ideal dalam mengembangkan kurikulum yang bernuansa global, kuat dalam visi dan
tidak menghilangkan nuansa kepribadian bangsa Indonesia.
Menilik benang merah sejarah Indonesia merdeka,
haruslah diakui bahwa politik “etis” kolonial Belanda sekitar tahun 1900-an
yang bersifat setengah hati, karena tuntutan abad pencerahan di Eropa, telah
memberikan semangat nasionalisme dan intelektualisme. Dimana pendidikan diyakini
sebagai jembatan emas menuju pencerahan dan kemerdekaan bangsa. Tokoh-tokoh
seperti Wahidin Sudirohusodo, Soewardi Suryaningrat atau yang dikenal sebagai
Ki Hajar Dewantoro, Soekarno dan Muhammad Hatta adalah contohnya.
Jika kemudian, setelah 60 tahun lebih Indonesia
merdeka, tunas-tunas bangsa tidak semuanya dapat mengenyam pendidikan yang
layak bagi kemanusiaan, inilah persoalan bangsa yang seharusnya menjadi
perhatian serius pemerintah dan semua pihak.
Sementara itu, bagaimana peran kurikulum dalam proses
pendidikan ? Hal ini tentu saja merupakan faktor yang sangat penting untuk
diperhatikan, sebab kurikulum adalah jantungnya pendidikan. Oleh sebab itu,
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana telah diamanatkan UUD
1945, adalah menjadi tugas utama pendidikan yang digariskan dalam kurikulumnya.
Undang-undang No. 2 tahun 1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional menjelaskan bahwa
kurikulum adalah seperangkat rencana dari pengaturan mengenai isi dan bahan
pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan
kegiatan belajar mengajar (Pasal 1). Demikian pula bahwa untuk mewujudkan
tujuan pendidikan nasional
kurikulum disusun, dengan memperhatikan tahap perkembangan peserta didik dan
kesesuaiannya dengan lingkungan, kebutuhan pembangunan nasional. Perkembangan
IPTEK, serta kesenian sesuai
dengan jenis dan jenjang masing-masing satuan pendidikan (Pasal 37).
Mencermati pasal 1 dan 37 Undang-undang tersebut dalam
perkembangan masyarakat global, khususnya yang menyangkut IPTEK, seharusnya
Indonesia menjadi bagian dari kompetisi itu. Untuk itu, segala perkembangan masyarakat dunia
perlu menjadi masukan sebagai bahan kajian serta diterapkan dalam pola-pola
kehidupan masyarakat Indonesia.
Fenomena tersebut akan menjadi bahan acuan dalam upaya pengembangan kehidupan
masyarakat di segala bidang, khususnya dalam penyusunan kurikulum
pendidikan. Dengan demikian peran dan fungsi kurikulum bagi proses pendidikan
adalah sebagai acuan pokok di dalam pelaksanaan proses pendidikan. Dengan
demikian, maka seharusnya kurikulum
tidak mengatur secara detail mengenai bagaimana proses atau teknisnya, tetapi
persoalan ini diberikan kepada sekolah untuk pengelolaannya dengan manajemen
berbasis sekolah (MBS), alasannya adalah tidak semua sekolah di Indonesia
memiliki karakteristik yang sama. Oleh karena itu muatan lokal kurikulum
diberikan kepada sekolah atau daerah.
Hal itu sesuai dengan pasal 38 ayat 3 UU Sisdiknas No.
20 Tahun 2003, bahwa kurikulum Dikdasmen dikembangkan sesuai dengan relevansi
setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite sekolah atau madrasah (Nyoman
S, 2000)
Implementasi kurikulum pendidikan pada tingkat
pembelajaran di sekolah merupakan tanggung jawab guru dan sekolah dalam bentuk
kegiatan belajar mengajar, baik besaran atau banyaknya jam pelajaran, maupun
evaluasinya sebagai bagian terpadu dari strategi belajar mengajar yang
direncanakan dengan baik (S. Prasetyo Utomo, 2006).
II.
Permasalahan
Mencermati uraian di atas, ada tiga permasalahan yang
akan dikupas dalam makalah ini, yaitu :
1.
Bagaimana kurikulum pendidikan menjadi bagian dari
kepentingan birokratis politis ?
2.
Bagaimana pelaksanaan kurikulum di Indonesia
ditinjau dari sejarah pelaksanaannya ?
3.
Bagaimana sebaiknya guru dan sekolah menyikapi
perubahan kurikulum pendidikan ?
III.
Pembahasan
3.1. Pendidikan dan Kepentingan Birokratis
Politis
Sejak kurikulum pendidikan pertama diberlakukan
(kurikulum 1947) hingga sekarang, tampaknya ada degenerasi dalam hal tujuan
pendidikan. Bahkan elitisme dan komersialisasi pendidikan semakin mereduksi
makna pendidikan dan mengancam nilai-nilai moral dan idealisme pendidikan itu
sendiri.
Catatan Shindunata dalam sampul majalah Basis
menggaris bawahi, “Bahwa pendidikan hanya menghasilkan air mata”. Ilustrasinya
berupa air mata meleleh dari kelopak mata seorang ayah yang tertusuk pulpen
Banyak ahli dan pemerhati pendidikan sangat prihatin.
Bahkan ada yang menarik tali sejarah lebih panjang lagi ke zaman Jepang sejak
masuknya tahun 1942 sebagai masa yang dilansir oleh Selamet Imam Santoso
(1995). Praktik pendidikan di Indonesia
sudah mengalami keterpurukan sejak zaman Jepang dan bersambung sampai zaman
kemerdekaan. Ada
mitologi yang berkembang, bahwa baik tidaknya pendidikan nasional, senantiasa
hanya dilihat sebagai solusi keterpurukan bangsa (Sularto, ST, 2005).
Empat bulan setelah Indonesia merdeka, dunia pendidikan
nasional mulai dibenahi. Pada tahun 1947 terbentuklah “Sistem Persekolahan”
sesuai dengan UUD 1945, termasuk Sekolah Rakyat (SR) enam tahun. Sistem itu
sempat dipraktikkan dan dikembangkan, barulah tahun 1960 tersusun undang-undang
yang menjadi paying hukum kegiatan pendidikan.
Sesuai dengan keputusan MPRS No. II/MPRS/1960 tentang
Manusia Sosialis Indonesia,
disusunlah rumusan Induk Sistem Pendidikan Nasional berdasarkan Keppres No. 14
Tahun 1965. Kemudian keluar dari Keppres No. 19 Tahun 1965 tentang pokok-pokok
Sistem Pendidikan Nasional Pancasila. Jiwa dan Visi kurikulum adalah gotong
royong dan demokrasi terpimpin.
Orde lama runtuh, keluar Ketetapan MPRS No. XXVII /
MPRS /1966 yang berisi tentang tujuan pendidikan nasional “membentuk manusia
Pancasila sejati berdasarkan ketentuan seperti yang termaktub dalam Pembukaan
UUD 1945”. Lalu kurikulum 1968 lahir sebagai sebuah pedoman praktik pendidikan
yang tersusun untuk pertama kalinya.
Menurut kurikulum ini, tujuan pendidikan nasional
adalah : mempertinggi mental, moral, budi pekerti dan memperkuat keyakinan
beragama, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan, serta membina dan
mengembangkan fisik yang kuat dan sehat.
3.2. Gambaran dan Ciri-ciri Kurikulum Pendidikan
di Indonesia dalam Perkembangan Sejarah
Berikut ini sekilas diuraikan tentang gambaran dan
ciri-ciri kurikulum pendidikan di Indonesia sebagaimana dikemukakan
oleh Azwar Abdullah (2007, 243-250).
A.
Kurikulum
1947
Kurikulum yang pertama kali diberlakukan di sekolah Indonesia pada
awal kemerdekaan ialah kurikulum 1947 yang dimaksudkan untuk melayani
kepentingan bangsa Indonesia.
Penerbitan UU No. 4 tahun 1950 merumuskan pula tujuan kurikulum menurut jenjang
pendidikan. Sekolah mengharuskan menyempurnakan kurikulum 1947 agar lebih
disesuaikan dengan kebutuhan dan kepentingan bangsa Indonesia. Berikut ini ciri-ciri Kurikulum 1947 : a) sifat
kurikulum Separated Subject Curriculum (1946-1947), b) menggunakan bahasa
Indonesia sebagai bahasa pengantar di sekolah, c) jumlah mata pelajaran :
Sekolah Rakyat (SR) – 16 bidang studi, SMP-17 bidang studi dan SMA jurusan B-19
bidang studi, dan d) materi pendidikan dan pengajaran : Mr. Soewandi.
B.
Kurikulum
1968
Kurikulum 1968 ditandai dengan pendekatan
peng-organisasian materi pelajaran dengan pengelompokan suatu pelajaran yang
berbeda, yang dilakukan secara korelasional (correlated subject curriculum), yaitu mata pelajaran yang satu
dikorelasikan dengan mata pelajaran yang lain, walaupun batas demarkasi antar
mata pelajaran masih terlihat jelas. Muatan materi masing-masing mata pelajaran
masih bersifat teoritis dan belum terikat erat dengan keadaan nyata dalam
lingkungan sekitar. Pengorganisasian mata pelajaran secara korelasional itu
berangsur-angsur mengarah kepada pendekatan pelajaran yang sudah terpisah-pisah
berdasarkan disiplin ilmu pada sekolah-sekolah yang lebih tinggi. Berikut
ciri-ciri kurikulum 1968 : a)
sifat kurikulum correlated subject, b) jumlah mata pelajaran SD-10 bidang
studi, SMP-18 bidang studi (Bahasa Indonesia dibedakan atas Bahasa Indonesia I
dan II), SMA jurusan A-18 bidang studi, c) penjurusan di SMA dilakukan di kelas
II, dan disederhanakan menjadi dua jurusan, yaitu Sastra Sosial Budaya dan Ilmu
Pasti Pengetahuan Alam (PASPAL), dan d) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Mashuri, SH (1968 – 1973).
C.
Kurikulum
1975
Di dalam kurikulum 1975, pada setiap bidang studi
dicantumkan tujuan kurikulum, sedangkan pada setiap pokok bahasan diberikan
tujuan instruksional umum yang dijabarkan lebih lanjut dalam berbagai satuan
bahasan yang memiliki tujuan
instruksional khusus. Dalam proses pembelajaran, guru harus berusaha agar
tujuan instruksional khusus dapat dicapai oleh peserta didik, setelah mata
pelajaran atau pokok bahasan tertentu disajikan oleh guru. Metode penyampaian
satun bahasa ini disebut prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI).
Melalui PPSI ini dibuat satuan pelajaran yang berupa rencana pelajaran setiap
satuan bahasan. Berikut ini ciri-ciri kurikulum 1975 : a)
sifat kurikulum Integrated Curriculum
Organization, b) jumlah mata pelajaran berdasarkan tingkatan SD mempunyai
struktur program, yang terdiri atas 9 bidang studi termasuk mata pelajaran
PSPB, pelajaran ilmu alam dan ilmu hayat digabung menjadi satu dengan nama Ilmu
Pengetahuan Alam (IPA), Pelajaran Ilmu Aljabar dan Ilmu Ukur digabung menjadi
satu dengan nama Matematika. JUmlah mata pelajaran di SMP dan SMA menjadi 11
bidang studi, c) penjurusan di SMA dibagi atas 3 yaitu : jurusan IPA, IPS dan
Bahasa, penjurusan dimulai di kelas I, pada permulaan semester II, dan d)
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Dr. Syarif Thayeb (1973-1978).
D.
Kurikulum
1984
Kurikulum 1984 pada hakikatnya merupakan penyempurnaan
dari kurikulum 1975. Asumsi yang mendasari penyempurnaan kurikulum 1975 ini
adalah bahwa kurikulum merupakan wadah atau tempat proses belajar mengajar
berlangsung yang secara dinamis, perlu senantiasa dinilai dan dikembangkan secara terus
menerus sesuai dengan kondisi dan perkembangan masyarakat. Berikut ciri-ciri
kurikulum 1984 : a) sifat kurikulum content
based curriculum, b) program mata pelajaran mencakup 11 bidang studi, c)
jumlah mata pelajaran di SMP 11 bidang studi, d) jumlah mata pelajaran di
SMA-15 bidang studi untuk program inti dan 4 bidang studi untuk program
pilihan, e) penjurusan di SMA dibagi atas 5 (lima) jurusan, yaitu : program A1
(ilmu fisika), program A2 (ilmu biologi), program A3 (ilmu sosial), program A4
(ilmu budaya), program A5 (ilmu agama), f) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Prof. Dr. Nugroho Notosusanto (1983-1985).
E.
Kurikulum
1994
Dengan mendasarkan kepada seluruh proses penyusunan
kurikulum pada ketentuan-ketentuan yuridis dan akademis di atas, maka diharapkan
kurikulum 1994 telah mampu menjembatani semua kesenjangan yang terdapat dalam
dunia pendidikan di sekolah. Namun, harapan itu sepertinya tidak terwujud
sebagaimana diperlihatkan oleh sedemikian banyak dan gencarnya keluhan
pengelola pendidikan mengenai berbagai kelemahan dan kekurangan kurikulum 1994.
Adapun ciri-ciri kurikulum 1994 adalah sebagai berikut : a) sifat kurikulum
objective based curriculum, b) nama SMP dan SLTP kejuruan diganti menjadi SLTP
(Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama), c) mata pelajaran PSBP dan
keterampilan ditiadakan, program pengajaran SD dan SLTP disusun dalam 13 mata
pelajaran, nama SMA diganti SMU (Sekolah Menengah Umum), d) program pengajaran
di SMU disusun dalam 10 mata pelajaran, e) penjurusan di SMU
dilakukan di kelas II, f) penjurusan dibagi atas tiga jurusan, yaitu jurusan
IPA, IPS, dan Bahasa, g) SMK memperkenalkan program pendidikan sistem ganda
(PSG) dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan adalah Prof. Dr. Ing. Wadiman
Djoyonegoro (1993-1998).
Aspek yang dikedepankan dalam kurikulum 1994 ialah
terlalu padat, sehingga sangat membebani siswa yang berpengaruh pada merosotnya
semangat belajar siswa, sehingga mutu pendidikan pun semakin terpuruk.
Akibatnya adalah siswa enggan belajar lama di sekolah. Jika sejak awal siswa
dicemaskan dengan mata pelajaran yang menjadi momok di sekolah, maka mereka
akan menjadi bosan dan kegiatan belajar mengajar menjadi menyebalkan.
Selain itu, penetapan target kurikulum 1994 dinilai
dan dikecam berbagai pihak antara lain sebagai dosa teramat besar dari
departemen pendidikan dan kebudayaan yang mengakibatkan kemerosotan kualitas
pendidikan secara berkesinambungan tanpa henti (Darmawan, Suara Pembaharuan,
2002) bahwa adanya target kurikulum telah menjadi salah satu factor pemicu
untuk penggantian kurikulum baru. Kurikulum 1994 yang padat dengan beban yang telah menghambat
diberlakukannya paradigma baru pendidikan dari siswa kepada guru, yang menuntut
banyak waktu untuk menyampaikan pandangan dalam rangka pengelolaan pendidikan.
Kurikulum yang padat juga melanggengkan konsep pengajaran satu arah, dari guru
murid, karena apabila murid diberikan kebebasan mengajukan pendapat, maka
diperlukan banyak waktu, sehingga target kurikulum sulit untuk tercapai.
Kesan umum dari kurikulum 1994 pada tingkat SMU,
adalah jenjang sekolah ini memberikan tekanan kuat, pada upaya mengarahkan
siswa untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Praktis tidak ada ruang
yang secara langsung dimaksudkan untuk menyiapkan siswa memasuki dunia kerja,
antara lain tampak dari tiadanya jam muatan lokal, dan dihapuskannya mata
pelajaran keterampilan. Hal ini tampaknya berlandaskan pada isyarat pasal 3
ayat (1) PP No. 29 / 1990. yang menyatakan, “Pendidikan menengah umum mengutamakan
persiapan siswa untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi.”
Memang, secara ideal itu sah-sah saja. Tapi dalam
kenyataannya, tidak semua lulusan SMU setiap tahun yang mengikuti UMPTN dapat
diterima, hanya sekitar 10 % saja yang lolos. Sebagian, lulusan SMU memang
ditampung oleh Perguruan Tinggi Swasta (PTS), tapi itu hanya ada separuhnya.
Selebihnya mengambil kursus atau terjun langsung ke masyarakat dan mencari
kerja. Padahal mereka tidak disiapkan untuk itu, kecuali dengan bekal yang
diperolehnya dari materi program pengajaran umum dan khusus. Jadi, mereka
dihadapkan pada situasi antara berenang dan tenggelam (Dedi Supriadi, 1997).
F.
Kurikulum
2004
Harapan masyarakat terhadap kurikulum pendidikan di Indonesia, pada
hakikatnya adalah adanya komunikasi dua arah yang memungkinkan kegiatan belajar
mengajar menjadi interaktif dan menyenangkan, baik bagi siswa maupun bagi guru.
Belajar menyenangkan itulah sebenarnya konsep pendidikan yang dapat membawa
peserta didik (siswa) untuk menguasai kompetensi akademik, kompetensi sosial,
dan kompetensi kepribadian. Harapan-harapan inilah yang seharusnya diakomodasi
di dalam penyusunan kurikulum.
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang hanya berlaku
sampai tahun 2006 di sekolah-sekolah pada dasarnya adalah merupakan gagasan
dari Kurikulum Berbasis Kemampuan Dasar (KBKD) yang pernah diperkenalkan oleh
Boediono dan Ella (1999), yang memfokuskan pada wujud pertumbuhan dan
perkembangan potensi peserta didik. KBK merupakan perangkat rencana dan pengaturan
tentang kompetensi dan hasil belajar yang harus dicapai oleh siswa, penilaian,
kegiatan belajar mengajar, dan pemberdayaan sumber daya pendidikan dalam
pengembangan kurikulum sekolah. Berikut ini ciri-ciri kurikulum 2004 (KBK) : a)
sifat kurikulum Competency Based
Curriculum, b) penyebutan SLTP menjadi SMP, c) penyebutan SMU menjadi SMA,
d) program pengajaran di SD disusun dalam 7 mata pelajaran, e) program
pengajaran di SMP disusun dalam 11 mata pelajaran, f) program pengajaran di SMA
disusun dalam 17 mata pelajaran, g) penjurusan di SMA dilakukan di kelas II, h)
penjurusan dibagi atas 3 jurusan, yaitu : Ilmu Alam, Ilmu Sosial, dan Bahasa,
dan i) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof. H. Abdul Malik Fajar
(2001-2004).
Berhubung kurikulum 2004 yang memfokuskan aspek
kompetensi siswa, maka prinsip pembelajaran adalah berpusat pada siswa dan
menggunakan pendekatan menyeluruh dan kemitraan, serta mengutamakan proses
pembelajaran dengan pendekatan kontekstual (contextual
teaching and learning atau CTL)
Dalam pelaksanaan kurikulum yang memegang peranan
penting adalah guru. Guru diibaratkan manusia dibalik senjata kosong yang tidak
berpeluru. Oleh karena itu, diperlukan kreativitas guru untuk mengisi senjata
itu dan membidiknya dengan cermat dan tepat mengenai sasaran. Keberhasilan
kurikulum lebih banyak ditentukan oleh kualitas dan kompetensi guru. Oleh
karenanya, tidak berlebihan apabila dalam diskusi mengenai “Potret Pendidikan
di Indonesia dan Peran Guru Swasta”, J. Drost (2002) menegaskan bahwa materi kurikulum,
terutama untuk mata pelajaran dasar, di seluruh dunia pada dasarnya sama. Yang
membedakannya adalah cara guru mengajar di depan kelas.
Inti dari KBK atau kurikulum 2004 adalah terletak pada
empat aspek utama, yaitu : 1) kurikulum dan hasil belajar, 2) pengelolaan
kurikulum berbasis sekolah, 3) kegiatan belajar mengajar, dan 4) evaluasi
dengan penilaian berbasis kelas.
Kurikulum dan hasil belajar memuat perencanaan
pengembangan kompetensi peserta didik yang perlu dicapai secara keseluruhan
sejak lahir sampai usia 18 tahun. Kurikulum dan hasil belajar ini memuat
kompetensi, hasil belajar dan indikator dari TK (Taman
Kanak-kanak) dan Raudhatul Athfal (RA) sampai dengan kelas XII (kelas III SMA).
Penilaian berbasis kelas memuat prinsip, sasaran dan pelaksanaan penilaian
berkelanjutan yang lebih akurat dan konsisten sebagai akuntabilitas publik
melalui identifikasi kompetensi atau hasil belajar yang telah dicapai,
pernyataan yang jelas tentang standar yang harus dan telah dicapai, serta peta
kemajuan belajar siswa dan pelaporan. Kegiatan belajar mengajar memuat gagasan
pokok tentang pembelajaran dan pengajaran untuk mencapai kompetensi yang
ditetapkan, serta gagasan-gagasan pedagogis dan andragogis yang mengelola
pembelajaran agar tidak mekanistik. Pengelolaan kurikulum berbasis sekolah
memuat berbagai pola pemberdayaan tenaga kependidikan dan sumber daya lain
untuk meningkatkan mutu hasil belajar. Pola ini dilengkapi pula dengan gagasan
pembentukan jaringan kurikulum (curriculum
council), pengembangan perangkat kurikulum, antara lain silabus, pembinaan
professional tenaga kependidikan, dan pengembangan sistem informasi kurikulum.
Peran dan tanggung jawab dalam pengelolaan kurikulum
berbasis sekolah diberikan kepada sekolah. Dinas Pendidikan Kabupaten / Kota, Dinas Pendidikan
Provinsi dan Tingkat Pusat. Peran dan tanggung jawab sekolah untuk meningkatkan
komunikasi dengan berbagai pihak untuk mensosialisasikan konsep KBK, menetapkan
tahap dan administrasi KBK, menata ulang KBK penempatan guru pada kelas secara
optimal, memberdayakan semua sumber daya dan dana sekolah, termasuk dalam
melibatkan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah untuk pelaksanaan kurikulum
secara bermutu (Puskur, Balitbang Depdikbud, 2002)
G.
Kurikulum
2006
Kurikulum 2006 atau yang dikenal dengan nama Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) merupakan kurikulum terakhir yang
diberlakukan. Namun pada hakikatnya merupakan kelanjutan dari kurikulum 2004.
Sebab tidak banyak perubahan berarti yang dilakukan. Yang tampak jelas berubah
adalah penentuan mata pelajaran masing-masing bidang studi dengan penjabaran
aspek-aspeknya. Persoalan baru itulah yang dirasakan oleh guru menjadi beban
berat. Belum lagi soal kerepotan dan kerumitan nilai dalam proses evaluasi
belajarnya. Dengan dasar Permendiknas Nomor 22, 23 dan 24 tentang Standar Isi
(SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) serta peraturan pelaksanaannya, maka
kurikulum 2006 diberlakukan untuk menyempurnakan kurikulum sebelumnya yang baru
berusia dua tahun. Dalam pelaksanaannya kurikulum terbaru tersebut mengalami
berbagai kendala. Terutama persoalan minimnya sosialisasi dan kesiapan sarana
dan prasarana pendukung pendidikan dan terutama sekali kesiapan guru dan
sekolah untuk menyusun dan mengembangkan kurikulum sendiri. Namun oleh
Depdiknas persoalan itu diantisipasi dengan diluncurkannya panduan KTSP yang
disusun oleh BSNP. Kenyataannya sampai saat ini kurikulum 2006 itu terkesan
masih dijalankan dengan setengah hati karena berbagai kebijakan dan landasan
yuridisnya belum dipenuhi secara konsekuen oleh pemerintah.
3.3. Bongkar Pasang Kurikulum
Dikembangkannya berbagai uji coba kurikulum, mulai
dari apresiasi atas peran swasta, seperti penggunaan system modul atau sekolah
pembangunan yang berorientasi pada kerja, sampai pada uji coba sistem cara
belajar siswa aktif (CBSA), tampaknya tidak menyurutkan hasrat pemerintah untuk
selalu melakukan berbagai upaya penggantian dan uji coba kurikulum.
Kesempatan memberikan apresiasi pada peran swasta pada
awalnya tampak bagus, namun pada akhirnya setelah melihat kondisi liberatif, pemerintah kemudian
mengambil alih kendali seluruh praktik
pendidikan. Pendidikan yang tadinya liberatif desentralistis, ditarik kembali
ke semangat deliberatif dan sentralistis. Pihak swasta tidak lagi dipandang
sebagai partner, tetapi sebagai pesaing. Kini otonomi daerah diberlakukan
seiring dengan reformasi pemerintahan. Namun lagi-lagi, masalah pendidikan yang
diotonomikan di daerah di seluruh Indonesia, tidak lebih baik dari
sebelumnya. Timbul banyak masalah, mulai dari penyalahgunaan Dana Bantuan
Operasional (BOS) sekolah, sampai pada pengangkatan Guru Bantu dan Tenaga
Honorer yang carut marut (Susanto dan Rejeki, Kompas, 11 Juli 2005).
Ketika kurikulum 1968 dicabut dan digantikan dengan
kurikulum 1975, tidak membuat praktek pendidikan di tanah air semakin membaik.
Bahkan ketika sekolah belum semua menggunakan kurikulum 1975, mulai dirasakan,
bahwa kurikulum ini sudah tidak bisa mengejar kemajuan pesat masyarakat.
Kemudian lahirlah kurikulum 1984. Sebagai tindak lanjutnya maka pemerintah
menerbitkan UU No. 2 Tahun 1989. Undang-undang yang dihasilkan secara terencana
lewat sebuah panitia penilai pun tidak lepas dari kritik. Kurikulum 1984
kemudian dianggap sangat sarat dengan beban, lantas muncul lagi kurikulum baru
1994 yang lebih sederhana. Lagi-lagi kepentingan politik praktis lebih menonjol
ketimbang berpijak dan berpihak pada kepentingan guru dan anak didik.
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 2 tahun
1989 pun dibanti, dan setelah lewat proses yang panjang dan menuai banyak
kritik, baru terealisasi pada tahun 2003. Bersamaan dengan lahirnya
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional yang baru, maka hadir pula kurikulum
baru 2004 atau kurikulum berbasis kompetensi (KBK), yang isinya memuat sejumlah
kompetensi yang harus dikuasai oleh setiap lulusan (Permanasari, Kompas, 30
Desember 2005).
Dalam praktek di lapangan, jangankan KBK, di banyak
daerah pedalaman Indonesia, masih ada sekolah yang belum sempat mempraktekkan
kurikulum 1994, seperti yang diungkapkan oleh dua orang guru dari pedalaman
Tapanuli Selatan Sumatera Utara, masing-masing Ridwan Dalimunthe dan Raja Dima
Siregar (Sularto, ST, Kompas, 16 Agustus 2005)
Meskipun selalu dibungkus dengan istilah penyempurnaan
pergantian kurikulum, tetap tidak terhindarkan dari kegiatan perombakan
kebijakan. Kita menghargai adanye pembenahan kurikulum yang belum sempat
tersosialisasi dengan baik, namun perlu mendapatkan pengkajian dan riset
terlebih dahulu dari berbagai aspek, termasuk memperhitungakan kelengkapan
sarana persekolahan, dan kesiapan guru dan murid. Pertimbangannya adalah
apabila penggantian kurikulum tidak dibarengi dengan pembenahan infrastruktur
dan standar pelayanan yang baik, ujung-ujungnya adalah kurikulum baru akan
tetap tidak merakyat dan membumi di dalam proses belajar mengajar. Dan praktek
pendidikan secara keseluruhan. Bahkan bisa muncul lagi kurikulum baru yang
dikutak-katik oleh pejabat atau Mendiknas yang baru. Kalau demikian adanya,
maka memang Indonesia
(Pemerintah) benar-benar tidak memiliki visi dan misi yang jelas tentang arah
dan tujuan pendidikan nasional. Kecenderungannya adalah akan terbukti, bahwa
rencana perubahan kurikulum yang setiap waktu lebih bersifat mega proyek,
ketimbang kepentingan masyarakat, bangsa dan Negara, yang membutuhkan pelayanan
pendidikan secara baik (Sularto, ST, Kompas, 22 Februari 2006).
IV.
Bagaimana
Sekolah dan Guru Menyikapi
Guru dan pihak sekolah, sebaiknya berani bersikap
mandiri dan tidak dibingungkan oleh keputusan pemerintah yang berencana
mengubah kurikulum. Sekolah yang memiliki kemampuan untuk mengemas dan
merekayasa kurikulum sendiri diharapkan tetap punya keyakinan untuk tidak
didikte oleh kurikulum nasional, yang dalam penerapannya mungkin saja sangat
detail, tanpa mempertimbangkan aspek muatan lokal, kondisi sosial, budaya
masyarakat di daerah tempat sekolah berada. Dalam konteks ini, sekolah, guru
dan murid harus yakin dengan pendiriannya (Ali, Kompas, 21 Februari 2006).
Yang jelas dan penting bagi guru adalah kesadaran
untuk menerapkan prinsip-prinsip dan idealisme dalam pendidikan. Hal tersebut
perlu untuk membentengi diri jangan timbul kesan bahwa perubahan kurikulum
dilakukan, karena adanya ketidaksiapan guru dalam pelaksanaan kurikulum
(Suparno, Kompas 27 Februari 2006). Tidak kalah pentingnya, bahwa pembatalan
kurikulum KBK, mencerminkan kebijakan pemerintah di bidang pendidikan di Indonesia yang
selama ini hanya dilakukan dengan kurikulum coba-coba, tanpa ada pengkajian dan
riset yang mendalam. Anggaran pendidikan kita selama ini hanya habis untuk
urusan uji coba. Dengan demikian, jangankan untuk meningkatkan mutu pendidikan,
apalagi untuk kesejahteraan guru dan dosen, sangat jauh dari harapan kita semua
(Abduhzen, Kompas, 28 Februari 2006).
Jadi, hal yang penting menjadi pertimbangan bagi para
pengambil keputusan di bidang pendidikan, adalah bahwa hendaknya perubahan
kebijakan yang diambil tidak dilakukan secara mendadak, tetapi perlu
perencanaan yang matang, dan sosialisasi merupakan kata kunci yang penting
untuk menjamin siswa, guru dan sekolah tidak menjadi korban perubahan tersebut
(Elin, Kompas, 24 Juli 2006).
V.
Simpulan dan
Saran
A.
Simpulan
Perjalanan pendidikan dan kurikulumnya sepanjang
sejarah bangsa Indonesia
merdeka, menunjukkan praktek pendidikan tidak pernah lepas dari metode uji coba
kebijaksanaan di bidang pendidikan. Begitu mudah berubah. Kurikulum pendidikan
yang seharusnya tidak gampang diubah, sebelum ada pengkajian dan riset yang
mendalam, telah menyebabkan sekor pendidikan di tanah air belum mampu mengatasi
ketertinggalan bangsa ini dalam mengikuti kompetisi regional dan global.
Dampak berikutnya, banyak kebijakan yang dilakukan
sebagai kebijakan yang bersifat instant dan tidak didasari atas pertimbangan
pedagogis edukatif. Ke depan yang perlu dilakukan bukan mengkutak-katik
kurikulum yang sudah ada, melainkan kita harus memusatkan perhatian yang serius
pada pembenahan infrastruktur persekolahan yang banyak mengalami kerusakan,
seperti gedung-gedung, sekolah yang telah runtuh dimakan usia. Selain itu
perhatian serius juga harus dipusatkan pada peningkatan kesejahteraan tenaga
guru dan dosen, pemberian akses kesempatan belajar yang seluas-luasnya bagi
anak-anak didik sebagai garda terdepan bangsa dalam memajukan pendidikan
nasional.
Catatan sejarah tentang pelapukan terhadap praktik
pendidikan dan kurikulumnya, harus segera diperbaiki kembali dengan memfokuskan
perhatian pada isi, visi, misi dan orientasi pendidikan yang berlandaskan pada
pendidikan untuk semua rakyat Indonesia
tanpa terkecuali. Saatnyalah pemerintah menjadikan pilar pendidikan sebagai
prioritas utama pembangunan nasional bangsa ke depan. Saya khawatir sepuluh
tahun yang akan dating bangsa kita akan menjadi bangsa buruh atau kuli di
negerinya sendiri. Sekarang saja kita jauh tertinggal dengan Negara-negara
sesama anggota ASEAN lainnya. Kalau tidak segera pendidikan di tanah air
dijadikan prioritas utama pembangunan, sebenarnya secara kultural, bangsa ini
sudah menggali liang lahatnya sendiri. Semoga hal ini tidak terjadi dan menjadi
mimpi buruk bagi bangsa kita.
B.
Saran
Memperhatikan situasi dan kondisi pengelolaan
pendidikan di Indonesia,
sebagaimana yang telah diuraikan di atas, maka ada lima hal yang perlu dilakukan suatu
pergantian kurikulum atau pemberlakuan kurikulum baru, yaitu : 1) sebelum
kurikulum baru ditetapkan, guru di seluruh Indonesia harus dibantu memahami
isi dan hakekat kurikulum yang baru itu. Oleh karena itu, perlu sosialisasi
yang sungguh merata di seluruh Indonesia.
Pemerintah tidak boleh berasumsi atau menganggap bahwa guru akan tahu sendiri,
atau mereka akan belajar sendiri setelah kurikulum ditetapkan, 2) untuk
mempercepat sosialisasi, teks kurikulum yang sudah ditatar dengan kurikulum
baru itu diterjunkan ke seluruh daerah untuk membantu sosialisasi, 3) media
komunikasi, surat kabar, dan jaringan internet dapat digunakan sebagai media
sosialisasi kurikulum yang baru, sehingga dapat terjangkau lebih cepat di
seluruh pelosok Indonesia, 4) guru
perlu dibantu agar dapat menyikapi kurikulum apapun secara bijak, sehingga
tidak menjadi bingung. Guru perlu menyadari, bahwa meskipun kurikulum nantinya
tidak lagi menggunakan KBK, namun mereka telah terbantu dalam proses kegiatan
belajar mengajar KBK. Guru perlu dibantu bersikap cerdas untuk mengambil hal
yang sungguh baik dan berguna dari kurikulum KBK ataupun kurikulum lama,
meskipun kurikulum baru ditetapkan, 5) sangat penting bagi guru untuk
mengembangkan sikap terbuka dan kemandirian dan percaya diri. Sebab
bagaimanapun juga, guru masih tetap menjadi pilar utama dan ujung tombak dalam
proses pencerdasan kehidupan bangsa tanpa harus terbelenggu dan terkungkung
oleh perubahan kurikulum pendidikan yang diberlakukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar