Oleh:
Tugas
ABSTRAK
Pragmatik sebagai subdisiplin termuda
dari ilmu linguistik tumbuh dan berkembang dari kecenderungan antisintaksis,
kecenderungan sosial-kritis, tradisi filsafat, dan tradisi etnometodologi
Kecenderungan pertama yang menolak pandangan sintaksisme Chomsky, bahwa di
dalam kajian bahasa yang sentral adalah sintaksis, dan bahwa fonologi,
morfologi, dan simantik adalah pariferal belaka. Tetapi dua murid Chomsky,
George Lakoff dan Robert Roos menolak pendapat gurunya,, dan menurut mereka
keapikan sintaksis bukanlah segalanya karena di dalam praktik penggunaan
bahasa, tidak jarang kita menjumpai ketidakapikan bahasa, baik ketidakapikan
sintaksis maupun ketidakapikan semantik, meskipun demikian komunikasi tetap
berjalan juga.
Sementara
itu, kecenderungan etnometodologi mengkaji bagaimana para anggota suatu
masyarakat tutur (speech community) mengorganisasi dan memahami kegiatan tutur
mereka dalam kehidupan sehari-hari, bukan berdasarkan aspek kegramatikalan,
tetapi bagaimana pemakai tutur itu saling memahami apa yang mereka ujarkan
meskipun ujaran itu secara gramatikal tidak lengkap.
Berkaitan dengan kegiatan tutur Levinson (1983 :
167) menyatakan bahwa pada dasarnya presuposisi dalam pengambilan sejumlah
kesimpulan tidak didasarkan pada faktor semantik dalam arti sempit, tetapi
lebih pada faktor-faktor kontekstual yang sangat sensitif. Ahli bahasa yang
lain (Strawson dalam Nababan, 1987) mengemukakan tentang konsep presuposisi
hanya memperhatikan suatu hubungan semantik yang penting yang disebut
intailment atau keterkandungan.
Kata kunci:
praanggapan, entailment
A.
Pendahuluan
Makna sebuah tuturan tidak hanya dapat
ditentukan dengan faktor-faktor lingual yang membentuk tuturan itu, tetapi juga
dapat ditentukan dengan faktor-faktor nonlingual. Penentuan makna sebuah
tuturan berdasarkan faktor lingual dapat dikaji dari bentuk-bentuk lingual yang
membentuknya. Namun penentuan makna sebuah tuturan berdasarkan faktor
nonlingual biasa sangat bervariasi tergantung pada situasi tutur yang
melandasinya.
Yang
pertama merupakan obyek kajian semantik sedangkan yang kedua merupakan objek
kajian pragmatik. Semantik dan pragmatik keduanya mengkaji tentang makna.
Bedanya adalah makna yang menjadi kajian semantik adalah makna linguistik (linguistic meaning) sedangkan yang
dikaji oleh pragmatik adalah maksud penutur (speaker
meaning).
Pragmatik
menelaah mengenai hubungan tanda-tanda dengan penafsir atau dengan kata lain pragmatik
merupakan studi tentang hubungan antara tanda dan penafsirnya. (Charles Morris,
1938:6 dalam Mey, 1993 : 35) menjelaskan bahwa pragmatik dan semantik berurusan
dengan makna, tetapi perbedaannya terletak pada perbedaan penggunaan verb to mean. Lazimnya semantik
memperlakukan makna sebagai suatu hubungan yang melibatkan dua segi (dyadic), what does X mean ?, sedangkan pragmatik
memperlakukan makna sebagai suatu hubungan yang melibatkan tiga segi (triadic),
what did you mean by X ?
Dengan demikian, dalam pragmatik makna diberi
definisi dalam hubungannya dengan
penutur atau pemakai bahasa, sedangkan dalam semantik, makna didefinisikan
semata-mata sebagai ciri-ciri ungkapan-ungkapan dalam suatu bahasa tertentu,
terpisah dari situasi, penutur dan mitra tuturnya. Lebih lanjut Leech (1993 :
8) mengatakan bahwa pragmatik, adalah studi tentang makna dalam hubungannya
dengan situasi-situasi ujar (speech
situation).
Banyak ahli seperti Levinson (1983 : 9) dan Bambang
Kaswanti Purwo (1990 : 17) mengatakan bahwa lingkup objek kajian
pragmatik mencakup deiksis, presuposisi, tindak tutur, implikatur percakapan,
struktur percakapan. Makalah ini tidak akan membicarakan lingkup pragmatik
secara keseluruhan tetapi pada presuposisi atau praanggapan.
B.
Pengertian Presuposisi
Dalam memaparkan pengertian presuposisi
ini penulis akan mengutip beberapa pendapat ahli . Harimurti (2001 : 176)
menerangkan bahwa praanggapan atau presuposisi merupakan syarat yang diperlukan
bagi benar tidaknya suatu kalimat, misalnya Ia
berdagang adalah praanggapan bagi kebenaran kalimat Barang dagangannya sangat laku.
Dari
definisi itu Harimurti ingin menjelaskan bahwa kalimat Barang dagangannya sangat laku dapat mempresuposisikan dan
mengimplikasikan kalimat yang lain, yaitu Ia
berdagang. Presuposisi Ia berdagang
benar jika pernyataan Barang dagangannya
sangat laku benar. Bila pernyataannya salah maka presuposisinya tetap
benar.
I
Dewa Putu Wijana (1996 : 37) berkenaan dengan hal ini mengemukakan bahwa sebuah
kalimat dikatakan mempresuposisikan kalimat yang lain jika ketidakbenaran
kalimat yang kedua (yang dipresuposisikan) mengakibatkan kalimat yang pertama
(yang mempresuposisikan) tidak dapat dikatakan benar atau salah. Untuk
menjelaskan pernyataan ini ia memberikan contoh tuturan sebagai berikut.
1. Buku
Siti Nurbaya sangat memikat.
2. Istri
pejabat itu cantik sekali.
Kalimat (1) mempresuposisikan bahwa ada buku yang
berjudul Siti Nurhaya. Bila memang ada buku yang berjudul seperti itu,
kalimat (1) dapat dinilai benar salahnya. Akan tetapi, bila tidak ada buku yang
berjudul Siti Nurbaya, kalimat (1) tidak dapat dinilai benar salahnya.
Sementara itu, kalimat (2) mempresuposisikan bahwa. pejabat itu mempunyai
istri. Bila memang pejabat yang dimaksudkan mempunyai istri, kalimat (2) dapat
dinilai benar dan salahnya. Akan tetapi, bila hal sebaliknya menjadi kenyataan,
kalimat (2) tidak dapat ditentukan kebenarannya.
Menurut
Bambang Kaswanti Purwo (1990 :19) ihwal presuposisi dapat pula dipakai untuk
menggali perbedaan ciri semantis verba yang satu dengan verba yang lain,
misalnya antara menangis dan meninggal. Dalam menerangkan pernyataan
ini, Bambang memberikan contoh sebagai berikut.
3. a. Berapa
kali sehari kamu memukuli istrimu ?
b. (Kamu memukuli istrimu)
4.
a. Si
Dul tidak berhasil lulus ujian.
b. (Si Dul berusaha lulus ujian)
5. a. Si
Yem menangis sebelum ia menyelesaikan skripsinya.
b. Si Yem meninggal sebelum ia menyelesaikan
skripsinya.
c. (Skripsi si Yem sudah selesai)
Dari contoh-contoh itu Bambang menyatakan
bahwa (3b) adalah presuposisi dari (3a), (4b) adalah presuposisi dari (4a),
tetapi hanya (5a) yang mempresuposisikan (5c), sedangkan (5b) tidak dapat. Dari
dapat atau tidaknya dipresuposisikan sebagai (5c), kalimat (5a) dapat dibedakan
dengan (5b), dan unsur pembedanya disandang oleh verba menangis dan meninggal.
Berkaitan
dengan presuposisi ini Strawson dalam Nababan, 1987:51 menyatakan bahwa
prasyarat yang memungkinkan suatu pernyataan benar atau tidak benar disebut
praanggapan atau presuposisi. Presuposisi inilah yang dapat disebut sebagai
‘kesimpulan pragmatik’ yang berbeda dengan implikatur atau entailment
(keterkandungan). Jadi konsep presuposisi ini dapat digambarkan dengan
mengatakan bahwa ‘pernyataan A berpresuposisi pemyataan B hanya jika B adalah
prasyarat bagi benar atau tidaknya A’. Untuk lebih memperjelas keterangan ini
marilah kita cermati contoh berikut ini.
6.
Program Pascasarjana UNS akan menyelenggarakan seminar nasional.
Kalimat
(6) di atas mengandung presuposisi Ada
program Pascasarjana di UNS. Jika kalimat (6) diubah menjadi Program Pascasarjana UNS tidak akan
menyelenggarakan seminar nasional tetap mengandung presuposisi ada program Pascasarjana di UNS. Jadi
dapat dikatakan bahwa ada program Pascasarjana di UNS merupakan presuposisi
atau ‘kesimpulan pragmatik’ sebagai prasyarat pernyataan atau kalimat (6) benar
atau tidak benar. Kalimat berikut ini akan menambah kejelasan tentang
presuposisi.
7.
Presiden UNS sangat bijaksana.
Dalam
kalimat (7) presiden UNS tidak mempunyai rujukan, artinya sekarang ini tidak
ada presiden UNS. Untuk menangani masalah seperti ini Frege dalam Nababan
(1987:50), menyampaikan satu solusi dengan membedakan makna dan rujukan. Kalimat-kalimat seperti (7) di atas mempunyai
makna walaupun tidak ada rujukannya, dan oleh karena itu kalimat itu tidak
dapat mempunyai ‘nilai kebenaran’, artinya tidak mungkin ‘benar’ atau ‘tidak
benar’. Kenyataannya bahwa UNS tidak memiliki seorang presiden. Dengan demikian
kalimat (7) dapat dinilai benar atau tidak benar jika memiliki prasyarat yang
disebut sebagai presuposisi, yaitu ada presiden
UNS.
Untuk
menambah pengertian presuposisi seperti sudah dinyatakan di atas, akan
dikutipkan pendapat Levinson (1983:167) yang menyatakan bahwa ... presupposition, that does seem at least to
be based more closely on the actual linguistic structure of sentence, we shall
conclude, however, that actual inferences cannot he thought of as semantic in
the narrow sense, because they are too sensitive to contextual factors ...
Dari kutipan ini dapat dikatakan bahwa pada dasarnya pengambilan sejumlah
kesimpulan pada presuposisi tidak didasarkan pada faktor-faktor semantik dalam
arti sempit, tetapi lebih pada faktor-faktor kontekstual yang sangat sensitive.
C.
Presuposisi Pragmatik
Sebelum Strawson dalam Nababan (1987: 52)
mengemukakan konsepnya tentang presuposisi, para ahli bahasa hanya
memperhatikan suatu hubungan semantik yang memang penting, yakni yang disebut
keterkandungan (entailment) atau
‘akibat secara logika’. Konsep ini memang dapat didefinisikan berdasarkan ‘kebenaran’
dan ‘ketidakbenaran’ secara semantik sebagai berikut : A secara semantik
mengandung B hanya jika semua keadaan yang membuat A benar akan membuat B juga
benar (atau, di semua keadaan di mana A benar, di situ B juga benar).
Namun konsep presuposisi semantik tidak terus bertahan karena
terdesak oleh adanya presuposisi pragmatik. Seiring dengan pelepasan konsep
presuposisi semantik itu, bermunculan beberapa teori presuposisi pragmatik yang
menggunakan faktor-faktor dan konsep pragmatik dalam definisi presuposisinya.
Definisi-definisi itu pada umumnya menggunakan dua konsep dasar, yakni
kewajaran (appropriatemeness atau felicity) dan pengetahuan bersama (mutual knowlwdge atau commond ground atau joint assumption). (Levinson, 1983:204).
Hal ini kelihatan dalam definisi Levinson (1983:205) berikut ini :
An utterance A pragmatically
presupposes a proposition B if A is appropriate only if B is
mutually know by participants.
Definisi itu mengindikasikan bahwa ada hambatan pragmatik (pragmatic constraints) dalam pemakaian
kalimat seperti misalnya kalimat-kalimat itu hanya wajar digunakan jika
diasumsikan dalam konteks bahwa proposisi yang ditujukan oleh presupposition-triggers itu benar.
Sehingga dapat dikatakan bahwa menuturkan sebuah kalimat yang presuposisinya
salah hanya akan menghasilkan tuturan yang tidak wajar atau sesuai. Tidak
seperti pandangan semantik yang menyatakan bahwa pernyataan sebuah kalimat
tidak pernah dapat dikatakan benar atau salah.
Banyak ahli mengemukakan
pendapatnya berkaitan dengan definisi presuposisi pragmatik ini yang
kesemuanya menggunakan sudut pandangnya masing-masing. Tetapi menurut Levinson
(1983:205) sebenarnya kita tidak perlu tertarik untuk mengkaji
definisi-definisi yang diajukan oleh para ahli tetapi harus berfikir bagaimana
menyediakan suatu model yang sccara tepat dapat memprediksi perilaku
presuposisional. Konsep kewajaran atau kesesuaian (appropriateness) Levinson masih perlu dikaji lebih lanjut;
misalnya dengan contoh berikut.
8. Maaf, saya terlambat, mobil pemadam saya rusak.
9. Pembicara mempunyai mobil pemadam.
Dapat dirasakan bahwa kalimat (8) tidak sesuai dalam keadaan
sehari-hari. Menurut hal yang umum saja tidaklah lazim bahwa kalimat (9) adalah
benar, karena tidak dapat diterima bila orang memiliki mobil pemadam yang
dipakai juga pergi ke kantor atau ke tempat kerja yang lain.
Untuk menyelesaikan kesulitan-kesulitan seperti ini, Gazdar
(1979:107), mengajukan konsep ‘kemungkinan
pembatalan’ presuposisi. Konsep ini mengatakan bahwa suatu presuposisi
bersifat potensial dan dapat dibatalkan (defeasible
atau cancelable).
D.
Entailment
Membicarakan
presuposisi tidaklah lengkap rasanya jika tidak dilengkapi dengan entailment.
Harimurti menerjemahkan istilah ini sebagai pengartian
sedangkan Nababan menerjemahkan sebagai keterkandungan.
Tidak menjadi masalah akan diterjemahkan apa. Penulis cenderung untuk
menggunakan istilah aslinya saja yaitu entailment.
Menurut Harimurti (2001:163) entailment merupakan makna yang
timbul sebagai akibat yang ada dalam suatu bentuk, misalnya makna kalimat Saya menyesal telah melanggar peraturun ini
memberikan entailment Saya telah
melanggar peraturan ini. Konsep ini oleh Harimurti dibedakan dengan konsep
pengertian (reference).
Contoh lain dikemukakan oleh I Dewa Putu Wijana (1996:36) sebagai berikut :
10. Ali membunuh Joni.
Joni mati.
11. Dimas menggoreng ikan.
Dimas memasak
ikan.
Kalimat Joni mati dan Dimas memasak
ikan merupakan bagian atau konsekwensi mutlak (necessary consequence) dari tuturan Ali membunuh Joni dan Dimas
menggoreng ikan, karena membunuh
secara mutlak mengakibatkan mati, dan
menggoreng secara mutlak berarti memasak. Sehubungan dengan pengertian
ini, kalimat (12) dan (13) berikut ini tidak berterima.
12. *Walaupun Ali membunuh Joni, tetapi Joni tidak mati.
13. *Walaupun Dimas-menggoreng ikan, tetapi ia tidak memasaknya.
Yang benar adalah jika keadaannya Joni tidak mati maka dapat
dipastikan bahwa Ali tidak membunuh Joni. Demikian juga kalau Dimas menggoreng
ikan tentu ia harus memasaknya karena menggoreng merupakan salah satu cara
memasak ikan.
Strawson mengemukakan sebuah
konsep tentang presuposisi sebagai berikut : Sebuah pernyataan A
mempresuposisi pernyataan B jika dan hanya jika :
a. Jika A benar, B benar
b. Jika A salah , B benar
Untuk memperjelas konsep
tersebut di atas dapat dilihat contoh berikut ini :
14. Tim Brasil menang 2 – 0 atas tim Belgia.
Mempresuposisikan bahwa ada tim Brasil, ada tim Belgia, dan ada sebuah pertandingan sepak bola antara 2
tim itu. Jika pernyataan (1) di atas dibuat bentuk negatif menjadi Tim Brasil tidak menang 2 – 0 atas tim
Belgia, presuposisinya tetap sama.
Perhatikan contoh berikut ini :
15. John managed to stop in time.
16. John didn’t manage to stop in time.
17. John stopped in time.
18. John tried to stop in time.
Dari pernyataan (15) dapat
disimpulkan pernyataan (17) dan (18). Namun apabila dites dengan bentuk
negatif, pernyataan (16), pernyataan (17) tidak dapat menyimpulkan pernyataan (16). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
pernyataan (18) mempresuposisikan pernyataan (15) dan (16). Perilaku pernyataan
negatif dapat digunakan untuk membedakan antara presuposisi dengan entailment.
Pernyataan yang kemudian muncul adalah dari mana asal presuposisi
(15) ?. Tentunya dari kata manage.
Jika pada pernyataan (15) kata manage
diganti dengan kata tried,
presuposisinya tetap sama, yaitu pernyataan (18). Dengan demikian presuposisi
sangat erat kaitanya dengan kata-kata tertentu. Hal demikian dinamakan
presuposisi trigger.
E. Penutup
Dari uraian di atas dapat dinyatakan bahwa presuposisi merupakan
objek kajian pragmatik yang menyatakan syarat yang diperlukan bagi benar
tidaknya suatu kalimat. (Baik
kalimat positif maupun kalimat negatif memiliki presuposisi yang sama. Inilah
ciri sebuah presuposisi.
Presuposisi dalam pembicaraan ini mengacu pada pragmatik dan bukan
semantik. Perbedaan antara keduanya sudah dibicarakan pada bagian pendahuluan.
Pembicaraan masalah presuposisi berkaitan erat dengan masalah entailment yang
merupakan konsekwensi mutlak (necessary cosequence)
sebuah kalimat.
DAFTAR PUSTAKA
Bambang
Kaswanti Purwo. 1990. Pragmatik dun
Pengajaran Bahasa. Yogyakarta
: Penerbit Kanisius.
Gazdar, Gerald.
1979. Pragmatics : Implicature,
Presuposition, and Logical Form. Orlando
: Academic Press, Inc.
Harimurti
Kridalaksana. 2001. Kamus Linguistik.
Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama.
I Dewa
Putu Wijana. 1996. Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta :
Penerbit Abadi.
Leech,
Geoffrey. 1993. Prinsip-prinsip Pragmatik.
Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia.
Levinson,
Stephen C. 1983. Pragmatics. Cambridge : Cambridge
University Press.
Mey, Jacob L.
1993. Pragmatics An Introduction. Oxford : Blackwell.
Nababan, P.W.J.
1987. Ilmu Pragmatik (Teori dan Penerapannya). Jakarta : Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga
Kependidikan Depdikbud.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar