SASTRA SEBAGAI PEMBELAJARAN MANUSIA DAN PROBLEMATIKA
PENGAJARANNYA
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1.
LATAR BELAKANG
Penyair Sutardji Kalzoum Bachri
pada sebuah tulisan Catatan Kebudayaan di Majalah Horison berjudul “Rasa Hormat
Maksimal Terhadap Penyair” berseloroh bahwa sastrawan dan karya sastranya bisa
dikelompokkan sebagai olahragawan, karena olahraga disamping menyehatkan badan
juga bisa menghibur dan menyegarkan jiwa. Sutardji dengan guyon (namun dengan
nada serius) juga mengatakan, sebagai sesuatu yang dapat menyegarkan jiwa,
puisi (penyair) dapat dikelompokkan dengan dagelan atau pelawak disamping
sebagai tukang kritik dan “kaum pembangkang”. Tentu saja guyonan Tardji
tinggallah sebagai guyonan karena pada kenyataannya meski sastra bisa
‘menyegarkan’ dan menghibur tidak pernah ada orang yang memasukkan sastrawan,
penyair atau novelis hanya kuat imajinasi dan pikirannya sedangkan ototnya
seringkali lembek bila dibandingkan atlet.
Guyonan Tardji itu bisa saja
membekas dan meninggalkan jejak-jejak pertanyaan yang menyoal kembali tentang
keberadaan sastra, sastrawan, dan pengajaran sastra. Terlebih lagi bila orang
mendengar cerita yang terjadi pada abad XIX, saat anggota parlemen Inggris
bernama John Ruskin berkata:” Shakaespeare bagi Inggris jauh lebih penting dari
India. Inggris tanpa India tetap Inggris. Namun Inggris tanpa Shakaspeare akan
kehilangan cirinya!”. Apa yang terdapat pada Shakaspeare dan apa pula yang
dibuatnya sehingga orang mendudukkannya
sebagai ikon bangsanya? Mengapa dia telah mendapat penghormatan yang tinggi di
mata masyarakat bangsanya sehingga dianggap mewakili citra Inggris sebagai
sebuah negara yang berkebudayaan?
Pernyataan Ruskin tersebut
mengisyaratka satu hal yang cukup
menyentil, betapa keberadaan sastra dan sastrawan begitu marwah, bermartabat,
serta berwibawa. Sastra secara syah, legal dalam skala kenegaraan diakui
menjadi bagian teramat penting dari perjalanan sebuah bangsa besar dan diyakini
pula membawa hal yang krusial bagi perkembangan dan kemajuan bangsa.
Sesuatu boleh dikatakan sastra
apabila ia selain menghibur juga memberikan kepada pembacanya suatu pemahaman
yang mendalam terhadap keanekaragaman kehidupan manusia. Karya sastra berkualitas lahir untuk
menghadirkan sebuah cermin kepada manusia, kepada masyarakat untuk berkaca dan
mematut diri untuk menjadi lebih sempurna.
Kehadiran karya sastra menjadi
simbolisasi dari pemikiran spekulatif pengalaman manusia atas dirinya, bangsa,
dan dunianya. Dengan karya sastra lewat media bahasa sastrawan berusaha
merefleksikan, berpikir, dan berabstraksikan, terhadap realitas hidup secara
komprehensif dan utuh. Pada saat inilah sastra berbicara tentang upaya
pencarian diri dan penyosokan identitas manusia dan identitas bangsa sekaligus
pula peranan sebuah wahana pembelajaran tentang hidup dan motivasi diri.
Karya sastra akan selalu melalui
mempersoalkan dirinya, adanya dan perwujudannya. Karya sastra merupakan salah
satu bukti bahwa manusia adalah makhluk yang terus menerus terlibat dalam
rancangan masa depannya karena kemampuannya untuk mengandaikan segala realitas
dan cenderung menangkap realitas sebagai kemungkinan-kemungkinan sehingga
selalu berada pada tegangan ada dan tiada. Kecenderungan inilah yang menjadi
dorongan utama yang menggerakkan bahwa manusia adalah makhluk yang ‘membelum’ selama
eksistensinya.
Unsur fiksi atau rekaan yang
terdapat dalam sastra merupakan dunia nyata yang unik yang dibutuhkan manusia
sebagai fungsi penyeimbang bagi kebutuhan jiwanya. Jika dalam realitas
sehari-hari gerak-gerik manusia ada batasnya dalam dunia rekaan apa yang
terjadi di dunia realitas bisa diulangi kembali. Dengan demikian seseorang
terlebih siswa dalam pembelajaran hidupnya membaca sastra berarti menyaksikan
dirinya sendiri di dalamnya. Dan sastra adalah cermin raksasa yang istimewa,
yang tidak hanya menampilkan diri manusia seperti dalam dunia nyata, tetapi
sekaligus juga memperbaikinya bahkan menampilkan hal-hal yang tidak tampak dan
tidak diketahui dalam realitas nyata, sehingga tidak berlebihan bila Wolfgang
Iser mengatakan bahwa sastra mampu menghadirkan yang tidak hadir, mementaskan
yang tidak terpentaskan dan bahkan menghadirkan permasalahan yang mungkin tidak
bisa dituntaskan dalam realita sehari-hari.
Jaques Dellours, ketua Komisi
Internasional tentang pendidikan untuk abad XXI, Unesco (1991) menyatakan bahwa
pendidikan adalah suatu ungkapan kasih sayang kepada anak-anak dan manusia muda
yang akan mengambil alih dari generasi sebelumnya. Anak-anak dan manusia muda
itu perlu disambut dengan diberi bekal di dalam keluarga, masyarakat, bangsa,
dan negara. Pendidikan menjadi sesuatu yang berharga yang sangat dibutuhkan
dalam usaha meraih cita-cita kemanusiaan dan keadilan sebagai ciri dari harkat
dan martabat manusia sebagai makhluk yang paling sempurna.
Di dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (19996: 323) pendidikan diartikan sebagai proses pengubahan sikap dan
tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui
upaya pembelajaran atau pengajaran. Karena itu pendidikan menyangkut tidak saja aspek kognitif dan keterampilan
siswa tetapi juga meliputi pembentukan diri secara keseluruhan.
“Dunia guru” adalah “dunia kelas”
yang secara sepihak menekan, mendesak, bahkan memaksa guru untuk melaksanakan
proses pembelajaran sebagai proses pendidikan yang diharapkan dapat
memanusiakan anak didik. Lebih lanjut, guru juga dituntutharapkan mampu
menyajikan proses pembelajaran sebagai proses pendidikan yang diharapkan mampu
menyajikan proses pembelajaran yang bukan semata-mata hanya mentransfer pengetahuan
tertentu.
Saat ini istilah pembelajaran lebih
populer dibanding dengan istilah pengajaran. Istilah pengajaran yang mempunyai
makna proses, cara, perbuatan, mengajar, atau mengajarkan, dewasa ini
tergantikan dengan istilah pembelajaran yang selain mempunyai proses atau cara
juga terkesan mempunyai pengertian suatu aktifitas yang seimbang antara pihak guru
dan anak didiknya.
Pengajaran-pembelajaran sastra di
SMA sesuai dengan kurikulum KBK yang disempurnakan dengan KTSP pada dasarnya
memiliki dua sasaran. Pertama,
memberikan kompentensi kepada siswa untuk menulis karangan fiksi dan nonfiksi
dengan menggunakan kosakata yang bervariasi dan efektif untuk menimbulkan efek
dan hasil tertentu. Dan kedua,
bertujuan memberikan kompetensi kepada siswa untuk mampu mengapresiasi sastra melalui kegiatan mendengarkan,
menonton, membaca, dan melisankan hasil sastra berupa puisi, cerita pendek,
novel, drama, serta mampu untuk memahami dan menggunakan pengertian teknis
kesusatraan dan sejarah sastra untuk menjelaskan, meresensi, menilai dan
menganalisis hasil sastra, memerankan drama, menulis karya cipta sastra berupa
puisi, cerita pendek, dan novel. Dengan demikian tujuan pengajaran dan
pembelajaran sastra di sekolah berkisar pada dua hal, pencapaian kompetensi
apresiatif dan kompetensi kreatif siswa.
Dalam perjalanan
pengajaran sastra, kurikulum yang menjadi kompas bagi para guru untuk melakukan
kegiatan belajar mengajar seringkali mengalami perubahan dan pergeseran.
Semenjak tahun 1950, 1958, 1964, 1968, 1975, 1984, kurikulum demi kurikulum
datang silih berganti hingga sampai diberlakukannya Kurikulum Berbasis
Kompetensi (KBK) yang kemudian disempurnakan menjadi KTSP (2004/2006).
Perubahan dan pergantian kurikulum tentu harus disikapi sebagai sebuah kewajaran
dan merupakan upaya untuk mengantisipasi perubahan, pergerakan, tuntutan, dan
kebutuhan zaman.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
yang mulai diberlakukan tahun ajaran 2006-2007 dan pemberlakuannya didasarkan
pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22 dan 23/ 2006 tentang Standar
Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan tentang Standar Kompetensi
lulusan, sebenarnya memberi paluang bagi guru-guru pengajar sastra (Bahasa
Indenesia) untuk berada pada “jalan yang lurus” dalam memberikan pengajaran sastra yang benar-benar
berorientasi pada apresiasi dan proses kreatif ini dengan sangat gamblang
dijelaskan dengan kalimat “pembelajaran Bahasa Indonesia diarahkan untuk
meningkatkan kemampuan peserta didik untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia
dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun tulisan, serta menumbuhkan
apresiasi terhadap hasil karya kesusastraan Indonesia”.
Dikatakan memberi peluang bagi
guru-guru pengajar sastra (bahasa indonesia) untuk berada pada “jalan yang yang
lurus dalam memberikan pengajaran sastra yang benar-benar berorientasi pada
apresiasi dan proses kreatif siswa, karena KTSP memberi kesempatan
selebar-lebarnya bagi guru dan sekolah di berbagai daerah untuk mengembangkan
diri sesuai dengan kondisi sekolah, guru, siswa, komite sekolah, serta keadaan
masyarakat dan budaya setempat.
Paling tidak ada lima hal yang
menjadi ciri utama KTSP, yakni: (1) bersifat fleksibel, fleksibelitas ini
tampak dari adanya kebebasan untuk menambahkan empat jam jumlah untuk jam mata
pelajaran wajib atau mata pelajaran muatan lokal; (2) KTSP dikembangkan
berdasarkan pertimbangan satuan pendidikan, potensi daerah, kondisi sosial
budaya, peserta didik, sehingga guru dan sekolah dapat leluasa mengelola dan
mengembangkan manajemen sekolah dan satuan pendidikan; (3) KTSP menuntut
sekaligus membuka lebar kreativitas guru dan sekaligus mendorong peserta didik
lebih aktif dan kreatif; (4) KTSP dikembangkan dengan prinsip diversifikasi,
artinya sekolah dimungkinkan menjabarkan sendiri standar isi dan standar
kompetensinya dengan memasukkan muatan lokal; dan (5) KTSP sejalan dengan
konsep desentralisasi pendidikan dan manajemen berbasis sekolah.
Dalam konteks pembelajaran dan
pengajaran sastra di SMA, Standar Kompetensi yang menyangkut Mendengarkan, Berbicara,
Membaca, dan Menulis, penjabaran dalam Kompetensi Dasar khususnya Sastra
Indonesia yang terdiri atas 36-38 materi dalam setiap semester, pelajaran
sastra berkisar antara 16-18 materi. Dari keseluruhan jumlah materi sastra ini
hanya sekitar 6-8 yang menyangkut teori dan pengetahuan sastra, selebihnya
apresiasi. Dengan demikian pengajaran sastra yang menitikberatkan pada
apresiasi dari sisi jumlah dan waktu tidak menjadi masalah di KTSP. KTSP yang
di dalamnya ada muatan lokal juga memberi bahan luar biasa banyak bagi guru,
misalnya cerita rakyat, drama tradisional, dongeng, puisi-puisi di media massa
dan sebagainya.
Namun dalam kenyataan di lapangan,
pengajaran sastra yang bermuara pada apresiasi dan proses kreatif siswa masih
banyak yang jauh dari harapan. Pelajaran sastra yang mestinya apresiatif,
kreatif dan membuat asyik siswa, di banyak tempat dan peristiwa masih saja
seperti dari tahun ke tahun: statis, membosankan, dan cenderung menghafalkan
teori.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan gambaran tersebut dapat
dirumuskan masalah sebagai berikut:
1.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar