BERBICARA
( Satu Arah dan Dua Arah)
Dindin Syahbudin, M.Pd.
Program Pascasarjana Bahasa Indonesia
UNS Surakarta
2009
Daftar Isi
Bab Satu
: Pendahuluan
Faktor-Faktor Penunjang Keefektifan
Berbicara
A. Faktor-faktor Kebahasaan sebagai
Penunjang Keefektifan Berbicara
BAB Dua Komunikasi
Satu Arah
A. Pidato
1. Tata Krama Berpidato
2. Posisi Berpidato
3. Sistematika Berpidato
4. Faktor Penunjang Keefektifan Berpidato
5. Persiapan
6. Metode Berpidato
B. Ceramah
BAB Tiga
Komunikasi Dua Arah
A. Debat
1. Pengertian
2. Macam-macam Debat
3. Menentukan Judul Debat
4. Persiapan-persiapan Sebelum Acara Debat
B. Diskusi Kelompok
1. Pengertian
2. Perbedaan Diskusi dengan Bentuk
Komunikasi Lain
3. Tujuan Diskusi Kelompok
4. Bentuk-bentuk Diskusi Kelompok
5. Pimpinan Diskusi
C. Seminar
1. Pengertian
2. Persiapan Seminar
3. Pelaksanaan Seminar
4. Peranan Pendapat dalam Seminar
5. Contoh Seminar
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur penulis
panjatkan ke hadirat Allah SWT atas Karunia dan Rahmat-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan buku sederhana ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan
kepada Istri dan Anak-anakku tercinta, DR. Sarwiji Suwandi, M.Pd., dan
Teman-teman senasib seperjuangan di Program Pascasarjana Universitas Sebelas
Maret Surakarta Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia.
Bahasa yang digunakan manusia
semakin hari semakin berkembang. Tradisi membaca dan menulis sudah mulai
bangkit dan banyak yang menjadi bagian hidup sehari-hari. Tetapi keterampilan
berbahasa bukan hanya itu saja masih ada yang lain yaitu menyimak dan
berbicara.
Semua orang berbicara untuk
berbagai keperluan. Tetapi, berbicara dalam situasi seperti pidato, ceramah, memimpin rapat,
membawakan sebuah acara, debat, diskusi dan kegiatan-kegiatan resmi lainnya
dianggap sebagai hal yang sulit dilakukan.
Penulis merasa
terpanggil untuk menyajikan cara meningkatkan kemampuan berbicara melalui buku
ini. Hal tersebut tentunya berdasarkan berbagai alasan. Salah satunya adalah
banyaknya keluhan para guru di sekolah tentang rendahnya nilai mata pelajaran
Bahasa Indonesia khususnya keterampilan berbicara dan alasan lain adalah masih
kurangnya buku-buku yang membahas keterampilan berbicara.
Buku ini dapat
dimanfaatkan oleh para Siswa (SD, SLTP, dan SLTA), Guru Bahasa Indonesia, para
Dosen Bahasa serta masyarakat pada umumnya yang memiliki minat untuk
meningkatkan kompetensi berbicara dalam berbagai kegiatan.
Penulis sengaja
menyusun buku ini dengan bahasa yang ringan dan mudah dipahami oleh semua
pembaca. Teori dan teknik berbicara disajikan dengan tegas dan lugas sehingga
tidak akan menimbulkan persepsi ganda dan membingungkan. Semoga para pembaca
dapat memanfaatkan buku ini sebaik-baiknya. Kritik dan saran guna perbaikan dan
penyempurnaan buku ini sangat penulis hargai, dan untuk itu penulis ucapkan
terima kasih.
Dindin Syahbudin
Bab Satu
Pendahuluan
Faktor-Faktor
Penunjang Keefektifan Berbicara
Kemampuan berbicara adalah
kemampuan seseorang mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau mengucapkan
kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan, menyampaikan pikiran, gagasan, dan
perasaan. Pihak lain sebagai pendengar menerima informasi melalui rangkaian
nada, tekanan, dan penempatan persendian (juncture).
Jika komunikasi berlangsung secara tatap muka disertai dengan gerak tangan dan
anggota tubuh lainnya (gestur) dan
air muka (mimik) pembicara.
Seseorang berbicara memiliki
tujuan utama yakni untuk berkomunikasi. Agar dapat menyampaikan informasi
secara efektif, sebaiknya pembicara sudah benar-benar menguasai dan memahami isi
pembicaraannya, selain itu juga harus dapat mengevaluasi efek komunikasinya
terhadap pendengar. Jadi, bukan hanya apa yang akan dibicarakan, tetapi juga
bagaimana mengemukakannya.
Cara mengemukakan dalam
berbicara merupakan beberapa hal yang menyangkut masalah bahasa dan pengucapan
bunyi-bunyi bahasa tersebut. Yang dimaksud ucapan adalah seluruh kegiatan yang
kita lakukan dalam memproduksi bunyi bahasa, yang meliputi artikulasi, yaitu
bagaimana posisi alat bicara, seperti lidah, bibir, gigi, dan langit-langit
pada waktu kita membentuk bunyi, baik vokal maupun konsonan.
Dikatakan pembicara yang baik
atau tidak, selain harus memberikan kesan bahwa ia menguasai masalah yang
dibicarakan, dia juga harus memperlihatkan keberanian dan kegairahan dihadapan
pendengarnya. Pembicara juga harus berbicara dengan jelas dan tepat. Ada dua
faktor yang harus diperhatikan oleh pembicara dalam melakukan kegiatan
berbicara yang efektif yakni faktor kebahasaan dan faktor nonkebahasaan.
A. Faktor-faktor Kebahasaan sebagai
Penunjang Keefektifan Berbicara
Maidar G. Arsyad (1987: 17)
menyampaikan beberapa faktor kebahasaan yang sangat menunjang bagi keefektifan
berbicara yaitu 1) ketepatan ucapan, 2) penempatan tekanan, nada, sendi, dan
durasi yang sesuai, 3) pilihan kata, dan 4) ketepatan sasaran.
1. ketepatan ucapan
Pembicara harus membiasakan
diri mengucapkan bunyi-bunyi bahasa secara tepat. Pengucapan bunyi bahasa yang
kurang atau tidak tepat, dapat mengalihkan perhatian pendengar. Masing-masing
orang akan mengucapkan artikulasi dan pola ucapan yang berbeda karena mempunyai
gaya bahasa tersendiri. Tetapi, kita harus mengupayakan perbedaan tersebut
tidak mencolok dan menjadi suatu penyimpangan karena akan mengganggu dan
merusak keefektifan komunikasi. Indonesia merupakan negara yang memiliki
ratusan bahasa daerah atau bahasa ibu. Hal tersebut merupakan latar belakang
penutur bahasa Indonesia berbeda-beda pula. Misalnya, pengucapan e yang kurang tepat, bébas diucapkan bebas, sebaliknya derap diucapkan dérap. Contoh lain yang masih dipengaruhi
oleh bahasa daerah adalah pengucapan kan pada akhiran -kan pada kata memasukkan sering dilafalkan bebeda.
Kita belum memiliki lafal baku, sebaiknya pengucapan bunyi bahasa jangan
terlalu diwarnai atau dipengaruhi oleh bahasa daerah, sehingga dapat
mengalihkan perhatian pendengar.
Dalam pengucapan bunyi bahasa
tiap suku kata, tidak jarang kita mendengar kata-kata yang suku katanya tidak
jelas. Kata-kata sering diucapkan berdempet atau kadang-kadang hilangnya
bunyi-bunyi tertentu. Misalnya kata pemerintah
atau pemrintah, materi atau matri, saudagar atau sudagar, dan lain-lain. Sebaliknya
pembicara cenderung menambahkan bunyi-bunyi bahasa tertentu di belakang suku
kata atau kata. Hal tersebut tentu saja dapat membingungkan dan mengalihkan
perhatian pendengar sehingga mengurangi keefektifan berbicara. Misalnya kata dapat menjadi dapateh, dan diucapkan dane,
waktu menjadi waktuh, dan
lain-lain.
Alasan mengapa faktor
pengucapan bunyi-bunyi bahasa dalam kegiatan berbicara harus tepat atau tidak
cacat karena akan menimbulkan pendengar merasa bosan, bingung, tidak tertarik,
dan tidak menyenangi pembicaraan kita. Atau mereka akan mengalihkan perhatian
mereka dari pembicaraan kita. Pengucapan bunyi bahasa dianggap cacat apabila
menyimpang terlalu jauh dari ragam lisan biasa, sehingga akan terlalu menarik
perhatian, mengganggu komunikasi, pembicara dianggap lucu dan aneh.
Sebelum kegiatan berbicara
dilakukan, sebaiknya kita menguasai materi dan pengetahuan tentang lafal dan
pengucapan bunyi bahasa Indonesia yang baik dan benar. Jika hal tersebut
dilakukan, akan membantu lancarnya komunikasi dan hasil dari tujuan berbicara
karena proses berbicara aakan berlangsung efektif dan tidak membosankan.
2. Penempatan tekanan, nada, sendi, dan durasi
yang sesuai
Jika pembicara sudah dapat
menempatkan tekanan, nada, sendi, dan durasi yang sesuai, maka akan menimbulkan
daya tarik tersendiri dalam berbicara. Pendengar akan merasa senang dan
memperhatikan isi pembicaraan meskipun masalah yang dibicarakannya sangat
sederhana atau kurang menarik. Dengan penempatan tekanan, nada, sendi, dan
durasi yang sesuai, akan menyebabkan masalahnya menjadi menarik. Jika pembicara
menyampaikan bunyi-bunyi bahasanya dengan datar, maka dapat dipastikan akan
membuat pendengar bosan dan sama sekali tidak tertarik pada masalah yang
dibicarakan. Pembicara akan tidak dipedulikan karena keefektifan berbicara
tidak ada atau berkurang.
Penekanan pada kata atau suku
kata memiliki peranan sangat penting dalam komunikasi lisan. Makna kata dan
maksud pembicara tidak dapat tersampaikan kepada pendengar akibat penekanan
pada kata atau suku kata yang tidak tepat. Tekanan suara yang biasanya jatuh
pada suku kata terakhir atau suku kata kedua dari belakang, kemudian oleh
pembicara dilakukan pada suku kata pertama. Misalnya kata penyebab, pemboikot, kesempatan, oleh pembicara diberi tekanan pada
pe-, pem-, ke-, tentu saja akan
terdengar janggal. Materi pembicaraan mungkin saja tidak akan utuh diterima dan
dimengerti karena akan terjadi salah pengertian antara pembicara dan pendengar.
Selain itu perhatian pendengar dapat beralih pada bagaimana pembicara berbicara
bukan pada isi pembicaraan, sehingga pokok pembicaraan atau pesan yang ingin
disampaikan kurang diperhatikan,akibatnya keefektifan komunikasi akan terganggu.
3. Pilihan Kata (diksi)
Pilihan kata atau diksi dalam
kegiatan berbicara harus jelas, tepat, dan bervariasi. Jelas artinya mudah
dimengerti oleh pendengar dan tidak timbul pengertian lain. Sering terjadi
salah pengertian antara pembicara dan pendengar gara-gara tidak jelas kata-kata
yang digunakan pembicara. Kata-kata yang populer stau sudah dikenal akan
membuat pendengar terangsang untuk mendengarkan dan akan lebih paham. Jangan
sekali-kali kita menggunakan kata-kata yang belum dipahami oleh pendengar,
kata-kata yang sudah dikenal akan lebih efektif daripada kata-kata yang
muluk-muluk dan kata-kata yang berasal dari bahasa asing. Kata-kata yang belum
populer memang akan menimbulkan penasaran dan membangkitkan rasa ingin tahu,
tetapi akan menghambat kelancaran komunikasi. Selain kata-kata yang sudah
dikenal, untuk lebih mudah dipahami pendengar, pembicara harus memilih
kata-kata yang kongkret.
Yang harus selalu diingat
pembicara dalam memilih kata yang akan digunakan adalah pilihan kata harus
disesuaikan dengan pokok pembicaraan dan siapa yang diajak berbicara
(pendengar). Kalau si pembicara memaksakan diri memilih kata-kata yang tidak
dipahaminya dengan maksud agar pendengar lebih terkesan dengan isi pembicaraan,
malah akan terjadi sebaliknya. Pendengar akan merasa bosan dan jenuh karena
timbul kesan dibuat-buat atau berlebihan. Demikian juga sebaliknya, pembicara
menggunakan kata-kata yang populer atau kata-kata yang tidak baku karena
bermaksud ingin turun ke kalangan pendengarnya, akibatnya akan terdengar tidak
wajar dan terkesan murah. Pembicara harus mengetahui siapa pendengarnya dan apa
pokok pembicaraannya, ia harus menyesuaikan pilihan katanya dengan pihak
pendengar dan pokok pembicaraannya.
Hal-hal tentang pilihan kata
atau diksi dalam pembicaraan tentunya harus lebih diperhatikan agar pendengar
merasa senang karena sesuai dengan situasi dan pelaku pembicaraan yang sedang
berlangsung.
Materi pembicaraan hendaknya
disusun dengan baik. Gunakan bahasa yan wajar dan sesuaikan dengan situasi
serta lawan bicara. Jika lawan bicara atau pendengar sudah merasa tidak cocok
dengan isi pembicaraan maka seketika suasana akan berubah menjadi tidak
efektif.
Pendengar akan tertarik dan
senang mendengarkan jika pewmbicara berbicara dengan jelas dengan bahasa yang
dikuasainya, dalam arti yang betul-betul
menjadi miliknya, baik sebagai perorangan maupun sebagai pembicara.
Selain itu, pilihan kata juga disesuaikan dengan pokok pembicaraan. Kalau pokok
permasalahn kita tentang hiburan, maka lakukan dengan santai dan menghibur.
Jika pokok pembicaraan tentang ilmiah, tentu pemakaian istilah pengetahuan mau
tidak mau harus disertakan dan tidak dapat kita hindari. Pendengar akan dapat memahami karena pendengarpun dari
kalangan tertentu. Jika masalah yang dibicarakan adalah tentang hal yang
santai, maka lakukan dengan santai, tentang hal-hal yang serius, maka lakukan
dengan serius pula. Kita tidak berbicara secara serius untuk masalah-masalah
yang santai beitu pula sebaliknya.
B. Faktor-faktor NonKebahasaan sebagai Penunjang Keefektifan Berbicara
Keefektifan berbicara tidak
hanya dipengaruhi faktor kebahasaan seperti yang telah diuaraikan di atas,
tetapi juga ditentukan oleh faktor-faktor non kebahasaan. Bahkan dalam
pembicaraan formal, faktor nonkebahasaan ini sangat mempengaruhi keefektifan
berbicara. Dalam proses belajar mengajar berbicara di sekolah, sebaiknya faktor
nonkebahasaan ditanamkan terlebih dahulu, karena kalau nonkebahasaan sudah
dikuasai akan memudahkan penerapan faktor kebahasaan.
Siswa atau pengguna bahasa harus
menguasai faktor-faktor nonkebahasaan agar dalam menggunakan bahasa sebagai
alat komunikasi dapat dilakukan dengan maksimal.
Yang termasuk faktor
nonkebahasaan ialah :
1. Sikap Wajar, Tenang, dan Tidak Kaku.
Dalam kegiatan berbicara,
pembicara harus memiliki ketiga sikap
tersebut. Pembicara yang tidak tenang, lesu, dan kaku tentulah akan memberikan
kesan pertama yang tidak baik karena akan menimbulkan pendengar tidak tertarik
pada pembicara dan isi pembicaraan.
Kesan pertama ini sangat penting untuk menjamin adanya kesinambungan
perhatian dari pihak pendengar. Dengan sikap wajar saja pembicara sudah
menunjukkan otoritas dan integritas dirinya.
Sikap pembicara seperti itu
sangat dipengaruhi oleh situasi, tempat, dan penguasaan materi. Penguasaan
materi yang baik, paling tidak akan menghilangkan gugup dan tidak percaya diri.
Pembicara harus melatih diri agar bersikap tenang dan tidak gugup ketika harus
tampil sebagai pembicara. Kalau sudah biasa, lama-kelamaan rasa gugup akan
hilang dengan sendirinya dan akan timbul sikap yang wajar. Sebaiknya dalam
latihan sikap ini harus ditanamkan lebih awal, karena hal tersebut merupakan
modal awal yang besar dalam kesuksesan berbicara.
Guru dapat melatih siswa, baik
individu maupun kelompok, untuk bersikap tenang dan wajar melalui
latihan-latihan dan sugesti sederhana. Guru memberikan dukungan moral kepada
siswa bahwa berbicara adalah kegiatan yang mudah dilakukan.
2. Pandangan Harus Diarahkan pada Lawan Bicara
Hal
tersebut dilakukan agar pendengar benar-benar terlibat dalam kegiatan
berbicara. Pandangan pembicara sangat membantu kelancaran berbicara. Jika
pembicara mengabaikan hal ini, maka kegiatan berbicara yang dilakukan tidak
akan efektif. Pandangan yang hanya tertuju pada satu arah akan menyebabkan pendengar
merasa tidak diperhatikan. Banyak pembicara yang tidak melakukan kontak mata
dengan pendengar, tetapi melihat ke atas, samping, atau menunduk. Akibatnya
perhatian pendengar jadi berkurang. Hendaknya pembicara harus mengupayakan agar
pendengar merasa terlibat dan diperhatikan.
3. Menghargai Orang Lain.
Dalam
menyampaikan isi pembicaraan, pembicara hendaknya tidak egois terhadap
perasaannya sendiri. Pembicara harus bersikap terbuka dalam arti dapat
menerima, menghargai orang lain. Pembicara harus bersedia menerima kritik,
bersedia mengubah pendapatnya jika tidak diterima orang lain atau ternyata
pendapatnya memang keliru.tetapi, bukan berarti pembicara harus begitu saja
menerima pendapat orang lain dan mengubah pendapatnya, tapi juga harus mampu
mempertahankan pendapatnya dan meyakinkan orang lain bahwa pendapatnya benar.
Jika mau bersikap begitu, pembicara harus mempersiapkan diri dengan argumentasi
yang kuat dan betul-betul diyakini kebenarannya.
4. Gestur dan Mimik yang Tepat
Gestur
adalah gerak anggota tubuh yang menjadi penyerta pembicara. Sedangkan mimik
adalah ekspresi pembicara dalam menuturkan isi pembicaraannya. Gestur dan mimik
yang tepat dapat menunjang kefektifan berbicara. Hal penting selain mendapat
tekanan, biasanya dibantu oleh gerakan anggota tubuh dan mimik. Jika hal ini
dilakukan, akan membantu menghidupkan komunikasi. Pembicaraan berlangsung
dengan tepat dan tidak kaku. Pendengar akan merasa tertarik karena pembicara
melakukan pembicaraan dengan ekspresif dan menarik. Gestur dan mimik yang
dilakukan pembicara hendaknya dilakukan dengan apa adanya, tidak berlebihan,
karena akan sangat mengganggu keefektifan berbicara, perhatian pendengar akan
beralih pada gerak-gerik dan mimik yang berlebihan itu, sehingga pesan yang
disampaikan akan kurang atau tidak dipahami.
Sering
kita melihat pembicara selalu menggerak-gerakkan kedua tangannya secara
berlebihan, sehingga pendengar tidak dapat lagi menentukan mana yang ditekankan
(yang dipentingkan) oleh pembicara.
5. Suara yang Nyaring
Pembicara
harus memiliki suara nyaring dalam berbicara. Kenyaringan tersebut harus
disesuaikan dengan situasi, kondisi, tempat, jumlah pendengar, dan akustik.
Perlu diperhatikan, jangan sekali-kali berteriak. Kenyaringan suara harus di
atur agar pendengar dapat mendengar dengan nyaman dan jelas dan kemungkinan
adanya gangguan dari luar.
6. Kelancaran
Pembicara
yang lancar berbicara akan memudahkan pendengar menangkap isi pembicaraannya.
Jangan berbicara dengan terputus-putus, bahkan pengucapan hal-hal yang
seharusnya tidak diucapkan, seperti ee oo, aa, dan sebagainya. Lancar bukan
berarti cepat. Pembicara yang berbicara terlalu cepat juga akan menyulitkan
pendengar menangkap topik pembicaraan
7. Kesesuaian/Penalaran
Gagasan
demi gagasan harus berhubungan dengan baik dan logis. Pembicara harus berpikir
logis dalam menyimpulkan dan menghubungkan bagian-bagian dalam kalimat, hubungan kalimat dengan kalimat,
hubungan dengan pokok pembicaraan.
8. Penguasaan Topik
Dalam
pembicaraan yang bersifat formal, pembicara sebelumnya harus benar-benar
menguasai topik yang akan disampaikan. Topik
pembicaraan harus dipersiapkan sebelum berbicara dimulai. Penguasaan topik yang
baik akan menumbuhkan keberanian dan kelancaran. Jadi, penguasaan topik ini
sangat penting, bahkan merupakan faktor utama dalam berbicara.