Selama lebih dari 30 tahun, kebijakan-kebijakan khususnya bidang pendidikan kita bersifat sentralistis dan pengawalan yang ketat terhadap isu perbedaan telah menghilangkan kemampuan masyarakat untuk memikirkan, membicarakan dan memecahkan persoalan yang muncul dari perbedaan secara terbuka, rasional dan damai. Kekerasan antar kelompok yang meledak secara sporadis di akhir tahun 1990-an di berbagai kawasan di Indonesia menunjukkan betapa rentannya rasa kebersamaan yang dibangun dalam Negara-Bangsa, betapa kentalnya prasangka antara kelompok dan betapa rendahnya saling pengertian antar kelompok. Di daerah–daerah, muncul ego-cultur, adanya penolakan terhadap suku tertentu pada komunitasnya, pergolakan bentrok antar suku, deskriminatif dalam pembangunan di bidang pendidikan, saling mencurigai antar suku, golongan atau agama, saling membenci. Akibatnya munculnya hal-hal tersebut wacana tentang pendidikan dalam bingkai kebinekaan atau sering disebut pendidikan mutikultural.
Konsep pendidikan dalam bingkai kebinekaan budaya atau pendidikan multikultural muncul akibat keragaman budaya, etnis, suku, ras, agama serta keyakinan atau disebut juga masyarakat yang majemuk (pluralistik), masyarakat yang seperti ini menyadari dirinya terdiri dari berbagai golongan yang berbeda secara etnis, sosial, ekonomi serta budaya.
Secara sederhana, pendidikan multikultural dapat didefenisikan sebagai pendidikan untuk/tentang keragaman kebudayaan dalam meresponi perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan. Berdararkan defnisi tersebut, mengindikasikan bahwa pendidikan bukan merupakan "menara gading" yang berusaha menjauhi realitas sosial dan budaya. Pendidikan harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang terdidik dan berpendidikan, bukan sebuah masyarakat yang hanya mengagungkan status sosial sebagai akibat kekayaan dan kemakmuran yang dialaminya. Melalui pendidikan multikultural, diharapkan dapat masyarakat dapat maju dan berkembang ke arah yang lebih baik dengan memanfaatkan budaya serta potensi yang ada serta dapat menghormati, saling tolerensi dengan kelompok atau budaya yang lain. Misalnya saja, di Papua dengan masyarakat yang memiliki budaya dengan berpakaian koteka, kita dapat memasukkan pendidikan mutikultural dengan memajukan pendidikan masyarakat di sana tetapi juga menjaga kelestarian budayanya. Artinya kita tidak ikut-ikutan memakai koteka, melainkan memberi pengetahuan /pendidikan sesuai potensi masyarakat agar dapat sejajar dengan daerah-daerah lain tetapi juga melestarikan budayanya.
Dengan pendidikan mutikultural ini, juga mengubah wajah dunia pendidikan yang dahulu hanya dapat dinikmati oleh orang-orang tertentu, atau pendidikan yang dilaksanakan oleh golongan tertentu, sekarang pendidikan dapat dirasakan oleh semua orang tanpa memperhatikan golongan, ras, atau etnis tertentu. Kita boleh mengenyam pendidikan dimana saja. Misalnya saja, dahulu orang yang beragama non muslim tidak diperbolehkan mendaftar di sekolah muslim atau sebaliknya, tetapi sekarang sudah banyak sekolah yang menerima peserta didik dengan beragam agama, dengan menyediakan guru agama. Ini sejalan dengan UUD 1945 pasal 31 ayat 1, yang menyebutkan bahwa setiap anak Indonesia berhak untuk belajar. Hal ini mengandung arti bahwa setiap anak adalah individu yang berbeda satu dengan lainnya dengan beragam bakat dan watak, pengalaman belajar harus menjadi pengaruh yang bersifat personal, bermakna dan beragam. Konsekuensinya bahwa pendidikan kita yang menuju desentralisasi dalam otonomi daerah harus mengacu pada pendidikan mutlikultur.
Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan pendidikan multikultural mengisyaratkan bahwa secara individual, siswa sama-sama belajar dengan individu lain dalam suasana saling menghormati, saling, toleransi, dan saling memahami. Walaupun pendidikan multikultural di Indonesia belum dilaksanakan sepenuhnya kita harus menghargainya, semoga dunia pendidikan kita lebih maju dan melahirkan generasi yang santun, cerdas serta mampu menghargai, menghormati dan memahami budaya sendiri maupun orang lain. Amin!.
Sumber bacaan:
1. Makalah kelompok pada judul yang sama.
2. Pertanyaan serta jawaban yang telah dirangkum dalam sebuah narasi.
3. http://www.wahanakebangsaan.org/index.php?option=com_content&task=view&id=45&Itemid=1 Tanggal 26 Desember 2008.
4. http://www.wahanakebangsaan.org/index.php?option=com_content&task=view&id=42&Itemid=33 Tanggal 26 Desember 2008.
5. http://www.sampoernafoundation.org/content/view/600/48/lang,id/ Tanggal 26 Desember 2008.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar