siap berbagi dan menerima

siap berbagi dan menerima

Kamis, 09 Februari 2012

BUKU YANG GAK TERBIT-TERBIT (AYO SIAPA YANG MAU MENERBITKAN...? HEHEHEHE....)


 BERBICARA
( Satu Arah dan Dua Arah)

Dindin Syahbudin, M.Pd.
Program Pascasarjana Bahasa Indonesia
UNS  Surakarta
2009

Daftar Isi
Bab Satu : Pendahuluan
Faktor-Faktor Penunjang Keefektifan Berbicara
A. Faktor-faktor Kebahasaan sebagai Penunjang Keefektifan Berbicara
BAB Dua Komunikasi Satu Arah
A. Pidato
1. Tata Krama Berpidato
2. Posisi Berpidato
3. Sistematika Berpidato
4. Faktor Penunjang Keefektifan Berpidato
5. Persiapan
6. Metode Berpidato
B. Ceramah

BAB Tiga Komunikasi Dua Arah
A. Debat
1. Pengertian
2. Macam-macam Debat
3. Menentukan Judul Debat
4. Persiapan-persiapan Sebelum Acara Debat
B. Diskusi Kelompok
1. Pengertian
2. Perbedaan Diskusi dengan Bentuk Komunikasi Lain
3. Tujuan Diskusi Kelompok
4. Bentuk-bentuk Diskusi Kelompok
5. Pimpinan Diskusi
1. Pengertian
2. Persiapan Seminar
3. Pelaksanaan Seminar
4. Peranan Pendapat dalam Seminar
5. Contoh Seminar

 
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas Karunia dan Rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan buku sederhana ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Istri dan Anak-anakku tercinta, DR. Sarwiji Suwandi, M.Pd., dan Teman-teman senasib seperjuangan di Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia.
Bahasa yang digunakan manusia semakin hari semakin berkembang. Tradisi membaca dan menulis sudah mulai bangkit dan banyak yang menjadi bagian hidup sehari-hari. Tetapi keterampilan berbahasa bukan hanya itu saja masih ada yang lain yaitu menyimak dan berbicara.
Semua orang berbicara untuk berbagai keperluan. Tetapi, berbicara dalam situasi  seperti pidato, ceramah, memimpin rapat, membawakan sebuah acara, debat, diskusi dan kegiatan-kegiatan resmi lainnya dianggap sebagai hal yang sulit dilakukan.
Penulis merasa terpanggil untuk menyajikan cara meningkatkan kemampuan berbicara melalui buku ini. Hal tersebut tentunya berdasarkan berbagai alasan. Salah satunya adalah banyaknya keluhan para guru di sekolah tentang rendahnya nilai mata pelajaran Bahasa Indonesia khususnya keterampilan berbicara dan alasan lain adalah masih kurangnya buku-buku yang membahas keterampilan berbicara.
Buku ini dapat dimanfaatkan oleh para Siswa (SD, SLTP, dan SLTA), Guru Bahasa Indonesia, para Dosen Bahasa serta masyarakat pada umumnya yang memiliki minat untuk meningkatkan kompetensi berbicara dalam berbagai kegiatan.
Penulis sengaja menyusun buku ini dengan bahasa yang ringan dan mudah dipahami oleh semua pembaca. Teori dan teknik berbicara disajikan dengan tegas dan lugas sehingga tidak akan menimbulkan persepsi ganda dan membingungkan. Semoga para pembaca dapat memanfaatkan buku ini sebaik-baiknya. Kritik dan saran guna perbaikan dan penyempurnaan buku ini sangat penulis hargai, dan untuk itu penulis ucapkan terima kasih.


Dindin Syahbudin

Bab Satu
Pendahuluan
Faktor-Faktor Penunjang Keefektifan Berbicara
Kemampuan berbicara adalah kemampuan seseorang mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau mengucapkan kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan, menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan. Pihak lain sebagai pendengar menerima informasi melalui rangkaian nada, tekanan, dan penempatan persendian (juncture). Jika komunikasi berlangsung secara tatap muka disertai dengan gerak tangan dan anggota tubuh lainnya (gestur) dan air muka (mimik) pembicara.
Seseorang berbicara memiliki tujuan utama yakni untuk berkomunikasi. Agar dapat menyampaikan informasi secara efektif, sebaiknya pembicara sudah benar-benar menguasai dan memahami isi pembicaraannya, selain itu juga harus dapat mengevaluasi efek komunikasinya terhadap pendengar. Jadi, bukan hanya apa yang akan dibicarakan, tetapi juga bagaimana mengemukakannya.
Cara mengemukakan dalam berbicara merupakan beberapa hal yang menyangkut masalah bahasa dan pengucapan bunyi-bunyi bahasa tersebut. Yang dimaksud ucapan adalah seluruh kegiatan yang kita lakukan dalam memproduksi bunyi bahasa, yang meliputi artikulasi, yaitu bagaimana posisi alat bicara, seperti lidah, bibir, gigi, dan langit-langit pada waktu kita membentuk bunyi, baik vokal maupun konsonan.
Dikatakan pembicara yang baik atau tidak, selain harus memberikan kesan bahwa ia menguasai masalah yang dibicarakan, dia juga harus memperlihatkan keberanian dan kegairahan dihadapan pendengarnya. Pembicara juga harus berbicara dengan jelas dan tepat. Ada dua faktor yang harus diperhatikan oleh pembicara dalam melakukan kegiatan berbicara yang efektif yakni faktor kebahasaan dan faktor nonkebahasaan.

A. Faktor-faktor Kebahasaan sebagai Penunjang Keefektifan Berbicara

Maidar G. Arsyad (1987: 17) menyampaikan beberapa faktor kebahasaan yang sangat menunjang bagi keefektifan berbicara yaitu 1) ketepatan ucapan, 2) penempatan tekanan, nada, sendi, dan durasi yang sesuai, 3) pilihan kata, dan 4) ketepatan sasaran.
1. ketepatan ucapan
Pembicara harus membiasakan diri mengucapkan bunyi-bunyi bahasa secara tepat. Pengucapan bunyi bahasa yang kurang atau tidak tepat, dapat mengalihkan perhatian pendengar. Masing-masing orang akan mengucapkan artikulasi dan pola ucapan yang berbeda karena mempunyai gaya bahasa tersendiri. Tetapi, kita harus mengupayakan perbedaan tersebut tidak mencolok dan menjadi suatu penyimpangan karena akan mengganggu dan merusak keefektifan komunikasi.  Indonesia merupakan negara yang memiliki ratusan bahasa daerah atau bahasa ibu. Hal tersebut merupakan latar belakang penutur bahasa Indonesia berbeda-beda pula. Misalnya, pengucapan e  yang kurang tepat, bébas diucapkan bebas, sebaliknya derap diucapkan dérap. Contoh lain yang masih dipengaruhi oleh bahasa daerah adalah pengucapan kan pada akhiran -kan pada kata memasukkan sering dilafalkan bebeda. Kita belum memiliki lafal baku, sebaiknya pengucapan bunyi bahasa jangan terlalu diwarnai atau dipengaruhi oleh bahasa daerah, sehingga dapat mengalihkan perhatian pendengar.
Dalam pengucapan bunyi bahasa tiap suku kata, tidak jarang kita mendengar kata-kata yang suku katanya tidak jelas. Kata-kata sering diucapkan berdempet atau kadang-kadang hilangnya bunyi-bunyi tertentu. Misalnya kata pemerintah atau pemrintah, materi atau matri, saudagar atau sudagar, dan lain-lain. Sebaliknya pembicara cenderung menambahkan bunyi-bunyi bahasa tertentu di belakang suku kata atau kata. Hal tersebut tentu saja dapat membingungkan dan mengalihkan perhatian pendengar sehingga mengurangi keefektifan berbicara. Misalnya kata dapat menjadi dapateh, dan diucapkan dane, waktu menjadi waktuh, dan lain-lain.
Alasan mengapa faktor pengucapan bunyi-bunyi bahasa dalam kegiatan berbicara harus tepat atau tidak cacat karena akan menimbulkan pendengar merasa bosan, bingung, tidak tertarik, dan tidak menyenangi pembicaraan kita. Atau mereka akan mengalihkan perhatian mereka dari pembicaraan kita. Pengucapan bunyi bahasa dianggap cacat apabila menyimpang terlalu jauh dari ragam lisan biasa, sehingga akan terlalu menarik perhatian, mengganggu komunikasi, pembicara dianggap lucu dan aneh.
Sebelum kegiatan berbicara dilakukan, sebaiknya kita menguasai materi dan pengetahuan tentang lafal dan pengucapan bunyi bahasa Indonesia yang baik dan benar. Jika hal tersebut dilakukan, akan membantu lancarnya komunikasi dan hasil dari tujuan berbicara karena proses berbicara aakan berlangsung efektif dan tidak membosankan.

2. Penempatan tekanan, nada, sendi, dan durasi yang sesuai
Jika pembicara sudah dapat menempatkan tekanan, nada, sendi, dan durasi yang sesuai, maka akan menimbulkan daya tarik tersendiri dalam berbicara. Pendengar akan merasa senang dan memperhatikan isi pembicaraan meskipun masalah yang dibicarakannya sangat sederhana atau kurang menarik. Dengan penempatan tekanan, nada, sendi, dan durasi yang sesuai, akan menyebabkan masalahnya menjadi menarik. Jika pembicara menyampaikan bunyi-bunyi bahasanya dengan datar, maka dapat dipastikan akan membuat pendengar bosan dan sama sekali tidak tertarik pada masalah yang dibicarakan. Pembicara akan tidak dipedulikan karena keefektifan berbicara tidak ada atau berkurang.
Penekanan pada kata atau suku kata memiliki peranan sangat penting dalam komunikasi lisan. Makna kata dan maksud pembicara tidak dapat tersampaikan kepada pendengar akibat penekanan pada kata atau suku kata yang tidak tepat. Tekanan suara yang biasanya jatuh pada suku kata terakhir atau suku kata kedua dari belakang, kemudian oleh pembicara dilakukan pada suku kata pertama. Misalnya kata penyebab, pemboikot, kesempatan, oleh pembicara diberi tekanan pada pe-, pem-, ke-, tentu saja akan terdengar janggal. Materi pembicaraan mungkin saja tidak akan utuh diterima dan dimengerti karena akan terjadi salah pengertian antara pembicara dan pendengar. Selain itu perhatian pendengar dapat beralih pada bagaimana pembicara berbicara bukan pada isi pembicaraan, sehingga pokok pembicaraan atau pesan yang ingin disampaikan kurang diperhatikan,akibatnya keefektifan komunikasi akan terganggu.

3. Pilihan Kata (diksi)
Pilihan kata atau diksi dalam kegiatan berbicara harus jelas, tepat, dan bervariasi. Jelas artinya mudah dimengerti oleh pendengar dan tidak timbul pengertian lain. Sering terjadi salah pengertian antara pembicara dan pendengar gara-gara tidak jelas kata-kata yang digunakan pembicara. Kata-kata yang populer stau sudah dikenal akan membuat pendengar terangsang untuk mendengarkan dan akan lebih paham. Jangan sekali-kali kita menggunakan kata-kata yang belum dipahami oleh pendengar, kata-kata yang sudah dikenal akan lebih efektif daripada kata-kata yang muluk-muluk dan kata-kata yang berasal dari bahasa asing. Kata-kata yang belum populer memang akan menimbulkan penasaran dan membangkitkan rasa ingin tahu, tetapi akan menghambat kelancaran komunikasi. Selain kata-kata yang sudah dikenal, untuk lebih mudah dipahami pendengar, pembicara harus memilih kata-kata yang kongkret.
Yang harus selalu diingat pembicara dalam memilih kata yang akan digunakan adalah pilihan kata harus disesuaikan dengan pokok pembicaraan dan siapa yang diajak berbicara (pendengar). Kalau si pembicara memaksakan diri memilih kata-kata yang tidak dipahaminya dengan maksud agar pendengar lebih terkesan dengan isi pembicaraan, malah akan terjadi sebaliknya. Pendengar akan merasa bosan dan jenuh karena timbul kesan dibuat-buat atau berlebihan. Demikian juga sebaliknya, pembicara menggunakan kata-kata yang populer atau kata-kata yang tidak baku karena bermaksud ingin turun ke kalangan pendengarnya, akibatnya akan terdengar tidak wajar dan terkesan murah. Pembicara harus mengetahui siapa pendengarnya dan apa pokok pembicaraannya, ia harus menyesuaikan pilihan katanya dengan pihak pendengar dan pokok pembicaraannya.
Hal-hal tentang pilihan kata atau diksi dalam pembicaraan tentunya harus lebih diperhatikan agar pendengar merasa senang karena sesuai dengan situasi dan pelaku pembicaraan yang sedang berlangsung.
Materi pembicaraan hendaknya disusun dengan baik. Gunakan bahasa yan wajar dan sesuaikan dengan situasi serta lawan bicara. Jika lawan bicara atau pendengar sudah merasa tidak cocok dengan isi pembicaraan maka seketika suasana akan berubah menjadi tidak efektif.
Pendengar akan tertarik dan senang mendengarkan jika pewmbicara berbicara dengan jelas dengan bahasa yang dikuasainya, dalam arti yang betul-betul  menjadi miliknya, baik sebagai perorangan maupun sebagai pembicara. Selain itu, pilihan kata juga disesuaikan dengan pokok pembicaraan. Kalau pokok permasalahn kita tentang hiburan, maka lakukan dengan santai dan menghibur. Jika pokok pembicaraan tentang ilmiah, tentu pemakaian istilah pengetahuan mau tidak mau harus disertakan dan tidak dapat kita hindari. Pendengar  akan dapat memahami karena pendengarpun dari kalangan tertentu. Jika masalah yang dibicarakan adalah tentang hal yang santai, maka lakukan dengan santai, tentang hal-hal yang serius, maka lakukan dengan serius pula.  Kita tidak  berbicara secara serius untuk masalah-masalah yang santai beitu pula sebaliknya.

B. Faktor-faktor NonKebahasaan sebagai Penunjang Keefektifan Berbicara
Keefektifan berbicara tidak hanya dipengaruhi faktor kebahasaan seperti yang telah diuaraikan di atas, tetapi juga ditentukan oleh faktor-faktor non kebahasaan. Bahkan dalam pembicaraan formal, faktor nonkebahasaan ini sangat mempengaruhi keefektifan berbicara. Dalam proses belajar mengajar berbicara di sekolah, sebaiknya faktor nonkebahasaan ditanamkan terlebih dahulu, karena kalau nonkebahasaan sudah dikuasai akan memudahkan penerapan faktor kebahasaan.
Siswa atau pengguna bahasa harus menguasai faktor-faktor nonkebahasaan agar dalam menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi dapat dilakukan dengan maksimal.
Yang termasuk faktor nonkebahasaan ialah :
1. Sikap Wajar, Tenang, dan Tidak Kaku.
Dalam kegiatan berbicara, pembicara harus memiliki  ketiga sikap tersebut. Pembicara yang tidak tenang, lesu, dan kaku tentulah akan memberikan kesan pertama yang tidak baik karena akan menimbulkan pendengar tidak tertarik pada pembicara dan isi pembicaraan.  Kesan pertama ini sangat penting untuk menjamin adanya kesinambungan perhatian dari pihak pendengar. Dengan sikap wajar saja pembicara sudah menunjukkan otoritas dan integritas dirinya.
Sikap pembicara seperti itu sangat dipengaruhi oleh situasi, tempat, dan penguasaan materi. Penguasaan materi yang baik, paling tidak akan menghilangkan gugup dan tidak percaya diri. Pembicara harus melatih diri agar bersikap tenang dan tidak gugup ketika harus tampil sebagai pembicara. Kalau sudah biasa, lama-kelamaan rasa gugup akan hilang dengan sendirinya dan akan timbul sikap yang wajar. Sebaiknya dalam latihan sikap ini harus ditanamkan lebih awal, karena hal tersebut merupakan modal awal yang besar dalam kesuksesan berbicara.
Guru dapat melatih siswa, baik individu maupun kelompok, untuk bersikap tenang dan wajar melalui latihan-latihan dan sugesti sederhana. Guru memberikan dukungan moral kepada siswa bahwa berbicara adalah kegiatan yang mudah dilakukan.
2. Pandangan Harus Diarahkan pada Lawan Bicara
            Hal tersebut dilakukan agar pendengar benar-benar terlibat dalam kegiatan berbicara. Pandangan pembicara sangat membantu kelancaran berbicara. Jika pembicara mengabaikan hal ini, maka kegiatan berbicara yang dilakukan tidak akan efektif. Pandangan yang hanya tertuju pada satu arah akan menyebabkan pendengar merasa tidak diperhatikan. Banyak pembicara yang tidak melakukan kontak mata dengan pendengar, tetapi melihat ke atas, samping, atau menunduk. Akibatnya perhatian pendengar jadi berkurang. Hendaknya pembicara harus mengupayakan agar pendengar merasa terlibat dan diperhatikan.
3. Menghargai Orang Lain.
            Dalam menyampaikan isi pembicaraan, pembicara hendaknya tidak egois terhadap perasaannya sendiri. Pembicara harus bersikap terbuka dalam arti dapat menerima, menghargai orang lain. Pembicara harus bersedia menerima kritik, bersedia mengubah pendapatnya jika tidak diterima orang lain atau ternyata pendapatnya memang keliru.tetapi, bukan berarti pembicara harus begitu saja menerima pendapat orang lain dan mengubah pendapatnya, tapi juga harus mampu mempertahankan pendapatnya dan meyakinkan orang lain bahwa pendapatnya benar. Jika mau bersikap begitu, pembicara harus mempersiapkan diri dengan argumentasi yang kuat dan betul-betul diyakini kebenarannya.
4. Gestur dan Mimik yang Tepat
            Gestur adalah gerak anggota tubuh yang menjadi penyerta pembicara. Sedangkan mimik adalah ekspresi pembicara dalam menuturkan isi pembicaraannya. Gestur dan mimik yang tepat dapat menunjang kefektifan berbicara. Hal penting selain mendapat tekanan, biasanya dibantu oleh gerakan anggota tubuh dan mimik. Jika hal ini dilakukan, akan membantu menghidupkan komunikasi. Pembicaraan berlangsung dengan tepat dan tidak kaku. Pendengar akan merasa tertarik karena pembicara melakukan pembicaraan dengan ekspresif dan menarik. Gestur dan mimik yang dilakukan pembicara hendaknya dilakukan dengan apa adanya, tidak berlebihan, karena akan sangat mengganggu keefektifan berbicara, perhatian pendengar akan beralih pada gerak-gerik dan mimik yang berlebihan itu, sehingga pesan yang disampaikan akan kurang atau tidak dipahami.
            Sering kita melihat pembicara selalu menggerak-gerakkan kedua tangannya secara berlebihan, sehingga pendengar tidak dapat lagi menentukan mana yang ditekankan (yang dipentingkan) oleh pembicara.
5. Suara yang Nyaring
            Pembicara harus memiliki suara nyaring dalam berbicara. Kenyaringan tersebut harus disesuaikan dengan situasi, kondisi, tempat, jumlah pendengar, dan akustik. Perlu diperhatikan, jangan sekali-kali berteriak. Kenyaringan suara harus di atur agar pendengar dapat mendengar dengan nyaman dan jelas dan kemungkinan adanya gangguan dari luar.
6. Kelancaran
            Pembicara yang lancar berbicara akan memudahkan pendengar menangkap isi pembicaraannya. Jangan berbicara dengan terputus-putus, bahkan pengucapan hal-hal yang seharusnya tidak diucapkan, seperti ee oo, aa, dan sebagainya. Lancar bukan berarti cepat. Pembicara yang berbicara terlalu cepat juga akan menyulitkan pendengar menangkap topik pembicaraan
7. Kesesuaian/Penalaran
            Gagasan demi gagasan harus berhubungan dengan baik dan logis. Pembicara harus berpikir logis dalam menyimpulkan dan menghubungkan bagian-bagian dalam  kalimat, hubungan kalimat dengan kalimat, hubungan dengan pokok pembicaraan.
8. Penguasaan Topik
            Dalam pembicaraan yang bersifat formal, pembicara sebelumnya harus benar-benar menguasai topik yang akan disampaikan.  Topik pembicaraan harus dipersiapkan sebelum berbicara dimulai. Penguasaan topik yang baik akan menumbuhkan keberanian dan kelancaran. Jadi, penguasaan topik ini sangat penting, bahkan merupakan faktor utama dalam berbicara.
           



KEMBALINYA HARKAT KEMANUSIAAN YANG TELAH HILANG (ANALISIS NOVEL KUBAH KARYA AHMAD TOHARI)


KEMBALINYA HARKAT KEMANUSIAAN
YANG TELAH HILANG
(ANALISIS NOVEL KUBAH KARYA AHMAD TOHARI)




              Novel setebal 189 halaman ini  menceritakan perjalanan hidup seorang tokoh, Karman, yang pada masa mudanya tergolong pemuda yang patuh, sopan, ulet,  dan rajin ke masjid. Namun, karena tidak bisa menikahi anak Haji Bakir, Rifah, Karman berubah sikap. Karman membenci Haji Bakir dan tidak rajin ke masjid lagi. Kekecewaan Karman dimanfaatkan oleh tokoh komunis Margo dan Triman untuk memasukan idiologinya dalam diri Karman. Karman terjerumus masuk dalam ideologi komunis dan akhirnya di tangkap dan ditahan di Pulau B (Buru) dengan meninggalkan seorang isteri dan tiga anak. Setelah masa tahanan di pengasingan habis, Karman pulang ke desanya dan masyarakat menerimanya kembali dengan iklas.
              Melalui novel Kubah, Ahmad Tohari ingin menyampaikan pesan kepada pembaca bahwa pada dasarnya semua orang pasti tidak ingin berbuat  salah, dan apabila punya kesalahan pasti ingin memperbaiki kesalahannya dan ingin kesalahannya dimaafkan. Ahmad Tohari juga berpesan bahwa seharusnya masyarakat iklas menjadi pemaaf dan bersikap arif terhadap ‘orang-orang  buangan’ seperti tokoh Karman yang diceritakan dalam novel ini.
              Cerita dalam novel ini diawali dengan gambaran keraguan tokoh Karman ketika mau pulang untuk menimati kebebasannya setelah  sekian lama berada dalam pengasingan di Pulau B. Dia ragu untuk pulang karena khawatir akan dicibir dan dibenci orang-orang sedesanya.

                        Setelah berhasil mengedepankan gejolak perasaannya, Karman sadar  bahwa dirinya sedang berada dalam perjalanan pulang yang  panjang dari Pulau B. Pulang? Tanya Karman berkali-kali kepada dirinya sendiri. Pulang ke mana? Aku memang lahir di sana, di Pagetan. Di sana aku dibesarkan dan di sana aku pernah punya rumah, istri dan anak. Namun masih adakah semua itu? Dan, apakah kampungku, terutama orang-orang, mau menerima aku kembali? Sebuah letupan kekuatan tiba-tiba mengoyahkan hatinya (Kubah, 1995 : 30).

             Keraguan dan kekhawatiran Karman dapat dimengerti, karena Karman sadar akan statusnya sebagi bekas tahanan politik yang baru saja dibebaskan dari Pulau B . Semua orang tahu bahwa Pulau B (baca Buru) adalah tempat pengasingan para tahanan politik (orang-orang PKI) kelas berat , sehingga wajar kalau Karman punya kekhawatiran dirinya tidak akan diterima oleh orang-orang di desanya. Di tambah lagi istrinya yang sangat dicintainya sudah tidak bisa hidup bersama lagi karena sudah jadi istri orang. Karman teringat kembali kenangan ketika dia harus merelakan istrinya, Marni, untuk menikah dengan Parta, lelaki teman sekampung, sedangkan waktu itu dia sendiri masih berada di pengasingan.
            Meskipun diberi hak untuk kembali ke tengah pergaulan masyarakat, Karman sulit menghapus kekhawatirannya akan ditolak, dibenci, dan dikucilkan oleh masyarakat yang dahulu pernah dirongrong olehnya. Akan tetapi, tidak ada pilihan lain kecuali harus pulang ke desanya. Kemudian Karman berniat untuk pulang ke rumah saudara sepupunya, Gono, yang rumahnya tidak jauh dari kota. Pada awalnya Karman masih ragu-ragu apakah jadi ke rumah Gono atau tidak. Tanpa diduga sebelumnya, di rumah Gono Karman bisa bertemu dengan anaknya, Rudio. Dan yang melegakannya lagi, sambutan Bu Gono yang tulus merupakan pertanda awal bahwa masyarakat akan menerima kembali orang-orang bekas PKI.


                        “Ya Tuhan.... Mas Karman?! Kau masih hidup, Mas Karman?”
                        Karman merasa sulit berbicara, tidak segera menjawab.
           “Ya, Dik. Syukurlah. Kita masih bisa bertemu lagi. Sekarang   tenanglah. Mari kita duduk dulu.”
            Tetapi Bu Gono belum bisa tenang dan belum mau duduk. Dipeluknya Karman erat-erat. Di sela-sela tangisnya, ia masih berkata-kata penuh emosi.
           “Mas Karman, saudaraku, tinggallah bersama kami di sini. Kau takkan menemukan apa-apa lagi di Pagetan......(Kubah, 1995 : 34).


            Apa yang dialami Karman di rumah Gono membuat dirinya memberanikan pulang ke desa Pagetan ke rumah orang tuanya sendiri, Bu Mantri. Wajarlah kalau Karman masih dihinggapi keraguan, kekhawatiran, ketakutan, dan keterasingan yang mencekam untuk kembali ke desanya. Akan tetapi, keraguan itu ternyata tidak terbukti karena hampir semua orang Pagetan menerimanya dengan baik, bahkan Haji Bakir bersama isterinya datang  menyambut kepulangannya di rumah Bu Mantri.

            Di rumah orangtuanya, Karman sedang dirubung oleh para tamu, tetangga-tetangganya yang sudah amat lama ditinggalkan. Ia merasa heran dan terharu, ternyata orang-orang Pagetan tetap pada watak mereka yang asli. Ramah, bersaudara, dan yang penting: gampang melupakan kesalahan orang lain. Padahal yang sangat dikhawatirkan oleh Karman adalah sikap membenci dan dendam yang mungkin diterimanya begitu ia muncul kembali di Pagetan. Haji Bakir datang berdua dengan isterinya meskipun ia harus dibantu dengan tongkat yang menopang tubuhnya yang sudah bungkuk. Apabila Karman menyambut tamu-tamu yang lain secara wajar, tidak demikian halnya ketika menerima kedatangan haji yang sudah sangat tua itu.
           Begitu Haji Bakir masuk ke rumah Bu Mantri itu, Karman berlari menjemputnya, lalu menjatuhkan diri. Dengan bertumpu pada kedua lututnya, Karman memeluk orang tua itu pada pinggangnya. Ia menangis seperti anak kecil. Haji Bakir yang meras tidak bisa berbuat apa-apa membiarkan Karman memuaskan tangisnya (Kubah, 1995 : 173-174).

              Cuplikan cerita di atas menunjukan bahwa siapapun orangnya akan menyesal dan menyadari akan kesalahan yang telah dilakukan. Karman bersikap seperti itu karena menyadari masa lalunya yang diwarnai kesombongan, kemungkaran,dan nyaris mendekati kematian. Karman sangat malu berhadapan dengan Haji Bakir yang dahulu pernah dibencinya dan Karman merasa bersyukur masih dapat bertemu dan diterima kembali oleh orang-orang di desanya.
              Sambutan masyarakat Pagetan harus dipahami sebagai bentuk simpati dan pemaafan terhadap orang yang telah melakukan kesalahan dan menderita karena kesalahannya itu, bukan sambutan terhadap paham yang pernah dianutnya. Melalui novel Kubah, Ahmad Tohari memberikan pelajaran pada pembaca untuk bisa memahami dan memberi maaf terhadap pribadi yang telah menyadari kesalahan atau ketersesatannya untuk mendapatkan kembali harkat kemanusiaanya. Di sisi lain novel ini juga memberikan pelajaran bahwa pribadi yang bersangkutan juga harus dapat membuktikan kesadarannya bahwa ia telah berubah dan kembali ke jalan yang benar. Hal ini oleh Ahmad Tohari ditunjukkan dengan keberanian tokoh Karman meminta bagian untuk ikut membangun masjid milik Haji Bakir yang sudah rapuh dengan menyanggupinya membuat kubah yang baru. Kesanggupan Karman didasari pengalamannya belajar mematri dan mengelas ketika berada di pengasingan.

           Tetapi Karman menganggap pekerjaan membuat  kubah itu sebagai kesempatn yang istimewa. Sesen pun ia tak mengharapkan upah.Bahkan dengan menyanggupi pekerjaan itu ia hanya ingin memberi jasa. Bagaimana juga sepulang dari pengasingan ia merasa ada yang hilang pada dirinya. Ia ingin memperoleh kembali bagian  hilang itu. Bila ia dapat memberi sebuah kubah yang bagus kepada orang-orang Pagetan, ia berharap akan memperoleh apa yang hilang itu. Atau setidaknya Karman bisa membuktikan bahwa dari seorang bekas tahanan politik seperti dia masih dapat diharapkan sesuatu. (Kubah, 1995 : 188).

.................................................................................................................
           “Luar biasa bagusnya,” kata seseorang ketika kubah masjid hasil kerja Karman selesai dipasang menjadi puncak bangunan masjid.
           “Beruntung, “ sambung yang lain, “kita mendapatkan Karman kembali. Kalu tidak, niscaya kita tidak bisa bersembahyang di dalam masjid sebagus ini.”
           Karman mendengengar puji-pujian itu. Rasanya dia yakin bahwa dirinya tidak berhak menerima semua pujian itu. Tetapi wajah orang-oang Pagetan yang berhias senyum, sikap mereka yang makin ramah, membuata Karman merasa sangat bahagia. Karman sudah melihat jalan kembali menuju kebersamaan dan kesetaraan dalam pergaulan yang hingga hari-hari kemarin terasa mengucilkan dirinya. Oh, kubah yang sederhana itu! Dalam kbisuannya, mahkota masjid itu terasa terus mengumandangkan janji akan memberikan harga asasi kepada setiap manusia yang sadar akan kemanusiaanya. Dan Karman merasa tidak terkecuali (Kubah, 1995 : 189).


            Kesanggupan Karman membuat kubah masjid untuk membuktikan bahwa dirinya telah berubah ternyata terbukti. Sambutan dan pujian masyarakat terhadap hasil hasil karya Karman menunjukkan bahwa Karman betul-betul telah diterima kembali di desanya dan telah mengembalikan harkat kemanusiaanya yang telah hilang.

PROBLEMATIKA FONOTAKTIK (TUGAS KULIAH UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA, 2009)


 GAMBARAN PROBLEMATIKA FONOTAKTIK YANG MUNCUL DALAM 
PELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SMP AKIBAT PENGARUH 
FONEM DALAM BAHASA SUNDA


BAB I
PENDAHULUAN

Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional yang digunakan oleh seluruh bangsa Indonesia dalam berbagai aspek kehidupan. Oleh karena itu berbahasa Indonesia yang baik dan benar merupakan kemampuan yang harus dimiliki oleh seluruh bangsa. Hal ini karena semua kegiatan di negara kita tidak terlepas dari penggunaan Bahasa Indonesia.
Salah satu cara untuk mencapai kemampuan berbahasa Indonesia yang baik dan benar adalah dengan menanamkan kebiasaan membaca buku yang berkaitan dengan kebahasaan dan kesastraan serta berlatih untuk menggunakannya secara teratur dan berkesinambungan.
Kemampuan berbahasa Indonesia yang baik dan benar baik secara langsung maupun tidak langsung sangat dipengaruhi oleh berbagai hal. Salah satunya adalah pengaruh bahasa daerah yang merupakan bahasa kesatu penduduk di Indonesia.
Struktur dan keberadaan bahasa daerah di negara kita tentu sangat berpengaruh terhadap penggunaan bahasa yang resmi atau baku. J.S. Badudu menyatakan bahwa bahasa daerah dapat memperkaya sekaligus merusak bahasa Indonesia. Pernyataan lain juga menyebutkan bahwa untuk mempelajari bahasa kedua atau bahasa asing akan mendapat hambatan karena pengaruh struktur dan abjad yang dimiliki oleh bahasa pertama.
Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah “Bagaimana gambaran problematika fonotaktik yang muncul dalam pelajaran Bahasa Indonesia di SMP akibat pengaruh fonem dalam Bahasa Sunda.”
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memberi gambaran bagaimana pengaruh fonem bahasa Sunda dalam penggunaaan bahasa Indonesia oleh siswa SMP.
Mengingat waktu yang dimiliki penulis sangat sempit, maka dalam menyusun makalah ini penulis menggunakan metode studi literatur dan pengalaman penulis dalam mengajarkan Bahasa Indonesia di kelas.


BAB II
PEMBAHASAN MASALAH

Bahasa Sunda merupakan bahasa kesatu atau bahasa ibu yang dimiliki dan dipergunakan oleh sebagian besar masyarakat Jawa Barat. Tentu saja sangat berpengaruh ketika pengguna bahasa Sunda harus belajar dan menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua. Banyak kesalahan berbahasa yang dilakukan oleh masyarakat sunda khususnya siswa di kelas.
Kesalahan berbahasa (language errors) berbagai ragam jenisnya. Para pakar bahasa mengelompokkan jenis-jenis kesalahan sendiri-sendiri. Chomsky dalam Tarigan, 1990: 143, mengelompokkan kesalahan berbahasa disebabkan karena faktor kelelahan yang disebut performance. Kesalahan yang lainnya disebabkan oleh kurangnya pengetahuan mengenai kaidah-kaidah bahasa yang disebut faktor kompetensi.
Ada perbedaan jenis dan jumlah fonem dalam bahasa Sunda dan bahasa Indonesia. Perbedaan tersebut harus diakui keberadaanya karena merupakan warisan berbahasa yang digunakan secara turun temurun oleh penggunanya.
Huruf konsonan dalam bahasa Sunda sebanyak 18 buah yakni : ha, na, ca, ra, ka, da, ta, sa, wa, la, pa, ja, ya, nya, ma, ga, ba, nga.  Dan huruf vokal sebanyak 7 buah yakni : a, i, u, e, o, é, dan eu. Sedangkan komposisi huruf dalam bahasa Indonesia terdiri dari : a, b, c, d, e, f, g, h, i, j, k, l, m, n, o, p, q, r, s, t, u, v, w, x, y, z.
Dilihat dari komposisi huruf dua bahasa diatas kita dapat mengetahui perbedaan dari keduanya. Bahasa Sunda tidak memiliki huruf “f, q, v, x dan z”, sedangkan bahasa Indonesia tidak memiliki huruf  “é, dan eu .“
Dari perbedaan fonem kedua bahasa tersebut tentunya merupakan masalah tersendiri bagi guru bahasa Indonesia di Jawa Barat. Karena siswa terbiasa dengan bahasa Sunda dalam percakapan sehari-hari di rumah mereka. Sehingga ketika harus berhadapan dengan bahasa Indonesia di sekolah tentunya merupakan hal yang sulit untuk dilakukan.
Berikut daftar masalah fonotaktik yang ditemui penulis dalam pembelajaran bahasa Indonesia di kelas.
No
Kata
Pengucapan / Penulisan
1.
paragraf
aktif
pasif
daftar
paragrap
aktip
pasip
daptar
2.
qori
qudsi
qur’an
kori
kudsi
kur’an
3.
variasi
vaksinasi
pariasi
paksinasi
4.
sinar x
sinar ek
5.
zat
zaman
zam-zam
jat
jaman
jam-jam
6.
melangkah
seharusnya
dst.
meulangkah
seuharusnya

Penulis hanya mengetengahkan sebagian kecil dari masalah-masalah fonotaktik yang muncul dalam pembelajaran bahasa Indonesia di kelas.
Upaya yang dilakukan penulis agar siswa dapat mengucapkan fonem dengan benar adalah terus melatih pengucapan dengan memberi contoh cara mengucapkan dan memberi tugas daftar kata yang harus dilafalkan oleh siswa di rumah.


BAB III
SIMPULAN
Bahasa  kesatu merupakan bahasa yang pertama kali dikenal manusia di dunia ini. Ketika harus belajar dan menggunakan bahasa kedua atau bahasa asing, bahasa pertama tentunya merupakan pengaruh yang sangat kuat dalam pembelajaran bahasa kedua atau asing. Tetapi ada peribahasa “Alah bisa karena biasa”, artinya sesulit apapun pembelajaran bahasa kedua dan seterusnya jika dibiasakan dengan cara-cara yang benar hasilnyapun  akan baik dan benar.
Menuju proses berbahasa Indonesia yang baik dan benar  harus melalui tahapan pembelajaran yang terus-menerus dan disertai ilmu kebahasaan yang berlaku.
Kita sebagai guru bahasa Indonesia memiliki tanggung jawab moril yang sangat besar dalam upaya mendidik dan mengajarkan bahasa Indonesia kepada calon-calon penerus bangsa. Jika kita sudah benar dan mengajarkan kepada anak didik dengan benar pula maka bahasa Indonesia akan tetap lestari sebagai bahasa yang memiliki kepribadian dan citra yang tinggi dan akan selamanya mengakar kuat sebagai bahasa pemersatu bangsa dan negara yang kita cintai ini.

 DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Hasan, dkk. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Ramlan, M. 2001. Ilmu Bahasa Indonesia Sintaksis. Yogyakarta: CV. Karyono
Tarigan, Henry Guntur, Tarigan, Jago. 1990. Pengajaran Analisis Kesalahan Berbahasa. Bandung: Angkasa